Too Big To Fail, Lessons Learned for Indonesia
If you’ve got a squirt gun in your pocket, you may have to take it out. If you’ve got a bazooka, and people know you’ve got it…you’re not likely to take it out.
Kutipan beken itu diucapkan Henry "Hank" Merritt Paulson, Jr., menteri keuangan ke-74 Amerika Serikat. Hank mengabdi pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush.
https://qz.com/893201/pick-the-boss-who-will-teach-you-the-most-career-advice-from-former-treasury-secretary-henry-paulson/
Paulson--di hadapan Komite Perbankan Senat, 15 Juli 2008--ingin menggambarkan betapa pentingnya dana talangan besar yang harus disediakan pemerintah untuk mengobati krisis keuangan yang merambat jadi krisis ekonomi.
Talangan itu tak boleh seperti pistol air tetapi haruslah besar, bagai senjata bazoka, sehingga publik tahu bahwa pemerintah sanggup menutupi kerugian akibat krisis.
Saat itu dana besar harus disediakan pemerintah AS untuk menalangi Freddie Mac dan Fannie Mae, dua perusahaan pembiayaan perumahan yang rontok karena gagal bayar.
Hank Paulson, bersama Ben Bernanke Ketua Dewan Gubernur Bank Sentral AS dan Timothy Geithner yang kala itu memimpin Federal Reserve New York, menjadi trio teknokrat yang harus menghadapi Nancy Pelosi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan para senator di Amerika Serikat.
http://chb3t.changeip.org/Paulson-investment-company-40-wall-street.html
Amerika Serikat ketika itu menghadapi bola salju krisis keuangan yang tak diduga-duga. Kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) dan produk derivatif menjadi titik gravitasi bagi mayoritas bank besar untuk ikut mencari untung.
Seperti kata Charles 'Chuck' Prince, CEO Citigroup pada 2007, "As long as the music is playing, you've got to get up and dance. We're still dancing."
Sayangnya, musik dan dansa itu berakhir ketika produk derivatif ternyata menggelembung dan meledak. Gagal bayar. Banyak bank penjual yang rontok, pembelinya pun di ambang kebangkrutan.
Ketika bank kolaps akibat krisis likuiditas di pasar, mau tidak mau ekonomi sektor riil kena imbasnya. Yang terjadi berikutnya adalah tidak hanya menciptakan krisis keuangan atau perbankan tetapi menimbulkan krisis ekonomi.
Bencana ekonomi 2008 bahkan disebut lebih menakutkan dari musibah Depresi Besar pada dekade 1930-an.
Paket penyelamatan senilai US$700 miliar yang diusulkan Paulson, Bernanke, dan Geithner, pun sempat ditolak Kongres AS.
Dana-dana yang begitu besar untuk perusahaan keuangan menuai banyak kritik di tengah kondisi Amerika yang saat itu mencatatkan daya beli masyarakat yang lemah.
Paket insentif dan stimulus dana yang besar bagaikan bazooka itu dinilai tak tepat untuk perusahaan jasa keuangan. Apalagi dana-dana hasil pajak itu malah digunakan untuk membayar kompensasi golden parachutes kepada manajemen perusahaan yang dibailout pemerintah.
Teriakan dan slogan ‘Wall Street vs Main Street’ pun menjadi bumbu penyedap pertarungan politik. Kebijakan pemerintah untuk menyehatkan industri keuangan agar kemudian diharapkan mampu menopang keberlangsungan perekonomian dalam jangka pendek, ternyata tak disukai publik.
Masyarakat AS menghendaki dana-dana besar tersebut lebih tepat diberikan secara langsung kepada tiap orang yang menderita karena kesulitan ekonomi. Para pengangguran merasa lebih berhak diberikan dana bantuan tunai.
Di sinilah, peran komunikasi begitu penting. Komunikasi antara pemerintah dengan publik dan antarlembaga negara menjadi pelajaran berharga saat krisis.
Presiden George W. Bush pun harus mempertemukan dua kandidat presiden, Barack Obama dan John McCain pada 28 September 2008. Pertemuan itu dihadiri pula Nancy Pelosi dan trio Paulson, Bernanke dan Geithner.
Negosiasi alot, ada high stake drama. Namun, mereka semua seakan bersepakat bahwa perekonomian tak boleh hancur. Korporasi keuangan Amerika Serikat telah mengglobal dan harus diselamatkan. It is too big to fail. Jika Amerika pulih, dunia pun pulih. Kira-kira demikian.
Paket bailout itu baru disetujui Kongres pada 3 Oktober 2008 dan diikuti dengan UU Stabilisasi Ekonomi Darurat yang diteken Presiden Bush. Wall Street banjir likuiditas. Indeks saham rebound.
Obama yang dilantik menjadi Presiden pada 20 Januari 2009, harus segera membawa Amerika keluar dari krisis ekonomi. Dana saat itu dialihkan ke sektor riil. Dia menarik Geithner sebagai Menteri Keuangan menggantikan Hank Paulson.
Obama, melalui slogan Yes, We Can Change yang ditransformasikan dengan gaya berkomunikasi yang menawan bagi dengan publik, merencanakan pengadaan proyek infrastruktur besar dalam pembangunan fasilitas-fasilitas domestik Amerika Serikat, seperti jalan dan jembatan.
Publik pun paham dana-dana besar untuk infrastruktur itu akan dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan, yang akhirnya dapat meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat dan menstimulasi pergerakan roda ekonomi.
Cerita sejarah terkadang memang lebih aneh dari fiksi. Selalu ada pengulangan. Kisah 2008 merupakan wujud kekhawatiran besar dari masyarakat yang masih menyimpan trauma kejadian 1998.
Kini, cerita di 2020 seakan masih sama. Krisis ekonomi menghantui. Perekonomian kembali membutuhkan paket-paket penyelamatan.
Adalah pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi dunia meriang. Tak terkecuali Amerika Serikat dan negara lainnya. Jika 12 tahun lalu perbankan jadi masalah awal, kini masalah kesehatan telah spill over menjadi isu ekonomi global.
Ratusan ribu jiwa melayang, jutaan orang terjangkit virus Corona. Obat dan vaksin belum ada. Karantina pun diberlakukan. Aktivitas manusia dibatasi untuk memutus rantai penyebaran virus. Kegiatan ekonomi mandek.
Jumlah pengangguran melonjak. Data orang miskin dan nyaris miskin, apapun definisinya, bertambah secara masif. Korporasi bangkrut. Dampaknya pun jelas. Krisis global jadi concern bersama. Ekonomi dunia diperkirakan tumbuh minus.
Ada empat lembaga memprediksi pertumbuhan ekonomi global sebagai berikut JP Morgan -1,1%, EIU -2,2%, Fitch -1,9%, dan IMF -3,0%.
Di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonominya diperkirakan terpangkas. Di kuartal I/2020, ekonomi Negeri Paman Sam hanya tumbuh 0,3%, jauh di bawah kuartal sebelumnya yang 2,3%.
Presiden Donald Trump yang menghadapi masa pencalonan kembali, harus berjibaku dengan wakil rakyat di Kongres untuk menyetujui paket-paket kebijakan. Nama Nancy Pelosi kembali hadir sebagai Ketua DPR yang harus dihadapi Trump.
Alot memang, tetapi isu ekonomi sudah terbukti sejajar dengan politik. Kebijakan pemulihan ekonomi untuk lepas dari dampak Covid-19 menjadi isu populis yang menyita banyak perhatian publik.
Di Indonesia pun demikian. Wabah Corona membuat ekonomi Indonesia harus diakui tersentak ke belakang.
Proyeksi lembaga dunia terhadap ekonomi Indonesia sama saja. Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia minus 3,5% atau 2,1% pada tahun ini. Kemudian pada 2021 ekonomi Indonesia diproyeksi berada di kisaran 5,2%.
Asian Development Bank (ADB) memproyeksi ekonomi Indonesia 2,5% pada 2020 dan 5% pada 2021. Selain itu Moody's juga meramal perekonomian Indonesia hanya tumbuh 3% tahun ini dan 4,3% pada tahun depan.
Adapun International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi Indonesia 0,5% pada 2020 dan 8,2% pada 2021.
Pemerintah Indonesia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario berat di kisaran 2,3% dan skenario sangat berat minus 0,4%.
Seperti di AS, ekonomi Indonesia tak akan sehat dengan sendirinya. Obatnya bisa dari stimulus dan insentif dari pemerintah untuk masyarakat dan pelaku usaha.
Namun lagi-lagi, komunikasi di masa krisis tidaklah mudah. Apapun kebijakan yang ditempuh pemerintah pasti mendapatkan sorotan dan kritikan.
Pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan wakil rakyat untuk mendapatkan legitimasi publik terhadap landasan hukum atas paket kebijakan insentif dan stimulus perekonomian. Belum lagi, pemerintah juga menghadapi nyinyiran kaum netizen di jagat media sosial.
Kita tentu masih ingat dengan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada 1998 dan kebijakan paket bailout untuk Bank Century pada 2008. Dana triliunan rupiah milik negara digunakan untuk menyelamatkan korporasi.
Kebijakan yang menuai banyak kritik publik tersebut menjadi memori tersendiri bagi pemerintah dan para wakil rakyat di Senayan.
Kali ini, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Ada anggaran negara sebesar Rp405 triliun yang digunakan untuk mengatasi dampak Covid-19. Dana-dana itu akan disalurkan sebagai stimulus, subsidi, hingga penanaman modal negara ke korporasi terutama badan usaha milik negara.
Tak hanya dari fiskal, Indonesia juga memiliki peluru senjata moneter yang cukup besar. Cadangan devisa yang masih US$127,8 miliar masih ditambah fasilitas bilateral dan multilateral currency swap arrangement yang nilainya puluhan miliar dolar AS.
BI juga memiliki kerja sama Repurchase Agreement (Repo) line senilai US$60 miliar dengan The Fed yang sewaktu-waktu bisa segera digunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Namun, seperti yang sudah dapat ditebak. Kebijakan pemerintah menuai kritikan.
Sejumlah pihak pun melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 27 Perppu 1/2020 yang kemudian pada 18 Mei 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan dan Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Mereka menggugat pasal yang mengatur pemberian hak imunitas hukum kepada pejabat negara dalam pengelolaan dana ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menjadi figur sentral. Hal ini tak lain karena mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini sebelumnya menjadi menteri keuangan pada 2008.
Di era pandemi Covid-19 tahun ini, Menteri Sri Mulyani, bersama Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto berperan besar menjaga komunikasi dan transparansi kepada publik.
Sri Mulyani bolak-balik ke DPR dan tampil di media massa setiap hari. Bahkan Menkeu ikut hadir pula di Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keterangan.
Yang beda dengan 12 tahun lalu, pemerintah kini aktif di media sosial seperti Instagram dan YouTube untuk berkomunikasi dengan publik.
Begitu juga dengan Gubernur Perry yang rajin tampil di publik menjelaskan stabilitas indikator moneter. Bank sentral memberikan dukungan likuiditas ke perbankan nasional senilai Rp583,8 triliun melalui quantitative easing.
Pelonggaran moneter melalui kebijakan giro wajib minimum dan pembelian Surat Berharga Negara menjadi pilihan aman secara politis bagi bank sentral ketimbang harus membailout langsung perbankan.
Di sektor riil, Menko Airlangga bergerilya meyakinkan banyak pihak mengenai rencana pemerintah untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar.
Bagi pengusaha, efek positif dari kebijakan pemerintah sangat dinantikan. Stimulus yang diberikan pemerintah Indonesia saat ini masih sekitar 2,7% dari total produk domestik bruto (PDB).
Angka itu memang lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang memberikan stimulus ke dunia usaha 19,9%, Malaysia 18,7%, Singapura 115, Amerika Serikat (AS) 15%, Australia 11%, India 10%, Italia 44%, Prancis 26%, Inggris 21% dan Spanyol 12%.
Dan kita tahu di dunia keuangan, sering berlaku hukum bilangan besar. Semakin besar angkanya, akan dinilai semakin kokoh dan sulit untuk dijatuhkan.
Jika semua amunisi kebijakan sudah lengkap, sekarang tinggal bagaimana pemerintah memaksimalkan komunikasi seraya menjaga kepercayaan dan ekspektasi publik bahwa krisis ini bisa diatasi tanpa ‘menembakkan bazoka’ itu.
https://koran.bisnis.com/m/read/20200605/270/1248831/beranda-too-big-to-fail-pelajaran-dari-krisis-
Comments
AJOQQ menyediakan 9 permainan seru :)