Bom Waktu Restrukturisasi Kredit?

Wabah Covid-19 membuat dunia usaha tak mampu bergerak banyak. Mayoritas sektor usaha terpukul dengan aktivitas perekonomian yang terhenti terkait dengan upaya memutus mata rantai penyebaran virus. 

Bagi industri perbankan, kelancaran gerak perekonomian adalah sangat menentukan. 

Bank selalu mengikuti kegiatan perekonomian. Ekonomi lesu, bank pun loyo. Yang lebih menakutkan, nasabah bank bisa gagal bayar karena usahanya kolaps. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan pada kuartal I/2020, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan di level 2,77%. 

Angka ini meningkat dibandingkan dengan realisasi akhir 2019 yang sebesar 2,30%. Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menjadi sektor ekonomi yang terdampak cukup parah. 

Dari sisi persentase, NPL sektor konstruksi bahkan berada di kisaran 9%. Di sisi nilai, Sebanyak Rp20 triliun dari total kredit perdagangan senilai Rp522 triliun merupakan kredit bermasalah. 

Otoritas dan pemerintah pun telah memberikan kemudahan kepada bank-bank pemberi kredit untuk melakukan restrukturisasi. Kebijakan ini diharapkan menolong bank-bank agar tidak terjerat piutang macet dan pelaku usaha masih ruang untuk tetap berusaha. 

Skema restrukturisasi ditentukan oleh masing-masing bank sesuai dengan kemampuan bank itu sendiri dan juga debiturnya. Aturan restrukturisasi itu bersifat sangat fleksibel. Di aturan sebelumnya OJK akan meminta pencadangan setiap kredit bermasalah karena nasabah kesulitan membayar bunga maupun pokok utang. 

Kali ini, sesuai dengan POJK No.11/POJK.03/2020 bank tidak perlu membentuk pencadangan bila suatu kredit telah masuk dalam skema restrukturisasi. 

Restrukturisasi seperti yang diatur dalam POJK tersebut bisa dalam bentuk mengurangi bunga dan pokok serta perpanjangan jangka waktu jatuh tempo. Namun, restrukturisasi hanya dapat dilakukan kepada debitur dengan status lancar sebelum masa pandemi Covid-19. Artinya debitur kesulitan pembayaran bunga atau cicilan betul disebabkan oleh pandemi, bukan oleh kondisi perusahaan yang memang buruk sejak masa sebelumnya. 

Kita melihat bankir-bankir pun memanfaatkan kebijakan restrukturisasi dengan baik. 

Sementara itu, data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan hingga 2 Juni 2020 telah dilakukan restrukturisasi pada 5,94 juta debitur dengan nilai Rp609,07 triliun. 

Realisasi restrukturisasi tersebut dilakukan oleh 99 bank umum konvensional maupun syariah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4,96 juta debitur merupakan sektor UMKM dengan nilai restrukturisasi Rp282,64 triliun. 

Namun, segala sesuatu ada risiko. Restrukturisasi kredit yang didorong oleh pemerintah akibat penyebaran pandemi Covid-19, dianggap menjadi sebuah kamuflase bagi kinerja industri perbankan. 

Menurut Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja, restrukturisasi akan membuat kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) tidak terlihat di dalam pembukuan, artinya menjadi berstatus lancar. 

Padahal, hal ini tidak lantas membuat kredit bermasalah benar-benar hilang. “Ini bahayanya restrukturisasi. Jadi restrukturisasi ini kamuflase. Artinya seluruh nasabah yang tidak sanggup bayar menjadi tetap lancar,” katanya dalam Live Webinar Perbankan bersama LPS dan BCA yang digelar oleh Bisnis Indonesia, Rabu (10/6/2020).

https://m.bisnis.com/foto/view/20200610/1250760/mitigasi-perbankan-hadapi-covid-19

Ibarat FaceApp atau aplikasi yang membuat seseorang jadi tampak cantik dan mulus, sambungnya, langkah restrukturisasi kredit bermasalah akan membuat kinerja industri perbankan tampak baik, meskipun aslinya tetap bermasalah. 

Menurutnya, hal ini tidak baik. Oleh karena itu, secara internal perbankan, termasuk BCA, tetap melakukan pendalaman dengan mengecek kondisi nasabah satu per satu sebelum memberikan keringanan pembayaran kredit. 

 “Sebagai perbankan, secara internal kami terpaksa dalami satu per satu keadaan nasabah, apakah masalah likuditas saja tapi kemudian bisa survive, atau ada masalah serius. Dampaknya bukan hanya likuditas mereka, tapi profitabilitas dan volume industri dan lain-lain, karena ini bersifat permanen,” tuturnya. 

Guna menghindari efek yang lebih jangka panjang di kemudian hari, BCA tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan restrukturisasi kredit kepada debitur. 

Selain itu, emiten bersandi BBCA ini tetap berupaya membentuk pencadangan secara normal dengan memperhitungkan jumlah nasabah yang kesulitan membayar pinjaman. 

"Pencadangan kami buat normal, tapi NPL tidak mungkin sebagai NPL. Kami tidak berani tidak membuat pencadangan, nanti dapat keuntungan overstated padahal nasabahnya bermasalah. Kalau di apps, ada Face App yang membuat muka tua jadi muda, tapi intinya kan kita tetap tua. Itu harus didalami dan dihitung, kami tidak mau mengelabui investor pemegang saham, tampak cantik tapi di dalamnya borok,” ujarnya. 

Langkah restrukturisasi memang baik, tetapi persoalan belumlah sepenuhnya selesai. Penerapan manajemen bank yang konservatif di kala masa krisis tetap perlu dilakukan para bankir. 

Apalagi industri perbankan juga dihadapkan pada kemungkinan peningkatan risiko kredit (loan at risk/LaR) yang makin tinggi tahun ini seiring dengan tingginya tingkat restrukturisasi kredit. 

Hal ini kini menjadi perhatian analis pasar modal dalam memberikan rekomendasi kepada investor. 

LaR merupakan indikator risiko gagal bayar atas kredit yang telah disalurkan. Termasuk di dalamnya adalah kredit berstatus kolektibilitas satu yang telah direstrukturisasi dan juga berstatus kolekbitilitas dua atau dalam perhatian khusus, hingga status kredit bermasalah. 

Risiko penurunan kualitas kredit harus menjadi perhatian berkelanjutan oleh para bankir karena tidak ada yang bisa memastikan masa-masa debitur kesulitan arus kas yang berdampak pada kemampuan membayar angsurannya, kapan akan berakhir. 

 Dengan pengawasan otoritas yang proaktif dan transparan, didukung respons para bankir yang akomodatif dengan regulasi baru, diharapkan tekanan risiko kredit bermasalah dapat terkendali dan tidak mengurangi peran industri perbankan terhadap perekonomian nasional.

(EDITORIAL : Mengendalikan Risiko Kualitas Kredit 
http://koran.bisnis.com/read/20200609/245/1250088/editorial-mengendalikan-risiko-kualitas-kredit-)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh