World Cup 2018, France, Mbappé dan Sejarah yang Berulang
Encore une fois, l'histoire se répète, kata orang Prancis. Sekali lagi, sejarah selalu berulang.
Hari ini, tepatnya sejak dinihari tadi, adalah masa-masa yang menyenangkan karena Prancis menjadi juara piala dunia 2018. Di babak Final, Prancis menang 4-2 atas Kroasia di Stadion Luzhniki, Moskwa.
Pertandingan yang mengulang sejarah karena 20 tahun lalu, tepatnya 9 Juli 1998, Prancis juga bersua Kroasia di Piala Dunia 1998 meski di babak semifinal. Hasilnya, dua gol Lilian Thuram membuat satu gol Davor Suker tak berarti.
Jika 20 tahun lalu, Prancis juara dengan membungkam Brazil 3-0 di final, kali ini situasinya sedikit bervariasi.
Dua dekade silam, malam itu, saya masih menyelesaikan ketikan revisi hasil sidang skripsi. Bahkan gol-gol Zidane dan Petit pun saya terlewatkan, meski hanya sempat melirik-lirik ke tv.
Tayangan adu gocekan Zidane dan Zvonimir Boban saat itu menjadi kerugian bagi saya karena tak sempat menikmatinya.
Kemarin, Minggu malam (15/7/2018), situasinya hampir mirip. Saya masih di depan komputer menyelesaikan front page koran ketika Didier Deschamps memimpin Les Bleus menghadapi Zlatko Dadic yang dipercaya melatih tim Vatreni Kroasia.
Tepat pukul 22 wib, koran sebenarnya sudah ready to publish tinggal nunggu foto momen piala dunia saja.
Skor 1-0 untuk Prancis hasil tendangan bebas Antoine Griezmann yang disambut sundulan Mario Mandzukic menghasilkan gol bunuh diri.
Gol tersebut dibalas Kroasia hasil tendangan keras Ivan Perisic yang bahu-membahu dengan Luca Modric sang kapten dan Ivan Rakitic.
Skor kembali 1-1. Saya masih cek ricek halaman satu dan halaman tiga. Tulisan perspektif Direktur Kementerian Perdagangan ternyata panjang benar dan mbulet, jadi kudu disunting dengan baik biar alur cerita tulisannya mudah dipahami.
Tapi teman-teman di bagian tata letak di depan Macintosh-nya teriak penalti!
Wasit Nestor Pitana harus mengambil keputusan berdasarkan tayangan The Video Assistant Referee (VAR) System dan memutuskan itu penalti! Kontroversi mungkin saja, tetapi sepakbola apalagi di ajang Piala Dunia selalu menghadirkan drama-drama.
Saya cuma melirik sekilas dan yakin pasti gol kalau Griezmann yang jadi eksekutor. Dan benar saja, penaltinya mulus membuat kiper Kroasia, Danijel Subasic tak mampu berbuat banyak.
Kisah Subasic ada juga yang istimewa.
Ternyata statistik mencatat, dalam tiga Piala Dunia terakhir tim yang kalah selalu mengandalkan kiper yang pernah bermain atau masih bermain di AS Monaco. Subasic pun ternyata memperpanjang daftar ini.
Dimulai dari Piala Dunia 2006. Prancis kalah dari Italia. Kiper Prancis saat itu adalah Fabian Barthez, dia pernah bermain untuk Monaco pada periode 1995-2000.
Berikutnya, Piala Dunia 2010. Belanda dikalahkan Spanyol. Kiper Belanda saat itu, Maarten Stekelenburg kemudian bermain untuk AS Monaco pada 2014-15.
Selanjutnya, Piala Dunia 2014. Argentina takluk di hadapan Jerman. Kiper Argentina saat itu, Sergio Romero bermain di AS Monaco pada 2013-14.
Adapun yang terbaru Danijel Subasic, dia masih menjadi kiper Monaco sejak 2012 lalu.
Kembali ke laptop— jargon lelucuan Thukul yang mungkin tak lagi populer— babak pertama ditutup skor 2-1 untuk Prancis. Sudah jadi pengetahuan umum pula kalau Griezmann mencetak gol, maka Prancis gak pernah kalah di pertandingan tersebut. Saya mulai tenang, pekerjaan 99% selesai, tinggal nunggu babak kedua.
Dua tivi di lantai 6 ini jadi pusat perhatian kami. Babak 45 menit kedua dimulai.
Saya semakin percaya diri bahwa Les Bleus akan menjadi juara karena di babak kedua ini N'Golo Kante sang pemikul air, masih menjadi andalan perebut bola di daerah 16.
Olivier Giroud sang striker yang rekan setim Kante di Chelsea, belum jua mencetak gol. Tapi tak apa, karena pada 1998 pun Stéphane Pierre Yves Guivarc'h juga tak mencetak satu gol pun meski jadi striker utama dengan main 6 pertandingan.
Tak lama, Paul Pogba mencetak gol. Pemain MU— malas sebenarnya nyebut nama tim Manchester United ini— menunjukkan dia bisa diandalkan dan jadi motor serangan tim. Sebagai muslim, Pogba bahkan umrah sebelum piala dunia.
Skor 3-1 pun membuat beberapa teman yang mendukung Kroasia mulai realistis.
Tak berapa lama, Kylian Mbappe— pemain muda idola baru— mencetak gol hasil serangan balik, pola serangan andalan Prancis selama piala dunia kali ini.
Lagi-lagi skor 4-1 membuat pendukung Kroasia semakin murung, bahkan ada yang langsung pulang dari kantor. Alasannya ngejar jadwal KRL, takut kemalaman.
Menit pertandingan menuju angka 70 ketika Hugo Lloris membikin blunder dan dimanfaatkan Mandzukic menjadi gol. Sontak, fans Kroasia tersenyum dan perasaan saya mulai cemas. Takut skornya terkejar.
Jika Kroasia nyetak satu gol lagi, mental pemain Prancis pasti jatuh, pikir saya. Ah tapi tak perlu takut dengan omongan orang.
Percuma saja mereka bilang siklus ini lah, siklus itu lah, football coming home lah, #GantiJuara2018 lah.
Namun, dasar mental juara, hingga perpanjangan 5 menit pun, skor tak berubah 4-2. Dan semesta alam pun berbahagia. Saya melirik jam udah lewat tengah malam.
Mr. Bowie (Firman Wibowo)— editor foto— menyahut, “caption udah dibikin, fotonya yang angkat piala aja ya,”
Saya mengiyakan, “Tentu, ini 4 tahun sekali, besok semua koran pasti fotonya Prancis Juara Dunia.”
Alhasil, jam 01.00 wib tanggal 16 Juli 2018 baru file koran dikirim ke kawan-kawan di percetakan di Pulogadung.
Pffuuiiih.... lega, dan lifted !
Setidaknya saya siap menerima ucapan selamat, sindiran, dan senyuman dari para sohib seperti Arif Muslim yang menjagokan Brazil, Rizki Jon Budiono yang rasanya Inggris banget, serta fans Jerman, Argentina, Spanyol dan lainnya.
Biar bagaimanapun, seperti kata Winston Churcill, History is written by the victors.
Sejarah ditulis oleh para pemenang.
dan Juara bebas ngomong apa saja!
Hari ini, tepatnya sejak dinihari tadi, adalah masa-masa yang menyenangkan karena Prancis menjadi juara piala dunia 2018. Di babak Final, Prancis menang 4-2 atas Kroasia di Stadion Luzhniki, Moskwa.
Pertandingan yang mengulang sejarah karena 20 tahun lalu, tepatnya 9 Juli 1998, Prancis juga bersua Kroasia di Piala Dunia 1998 meski di babak semifinal. Hasilnya, dua gol Lilian Thuram membuat satu gol Davor Suker tak berarti.
Jika 20 tahun lalu, Prancis juara dengan membungkam Brazil 3-0 di final, kali ini situasinya sedikit bervariasi.
Dua dekade silam, malam itu, saya masih menyelesaikan ketikan revisi hasil sidang skripsi. Bahkan gol-gol Zidane dan Petit pun saya terlewatkan, meski hanya sempat melirik-lirik ke tv.
Tayangan adu gocekan Zidane dan Zvonimir Boban saat itu menjadi kerugian bagi saya karena tak sempat menikmatinya.
Kemarin, Minggu malam (15/7/2018), situasinya hampir mirip. Saya masih di depan komputer menyelesaikan front page koran ketika Didier Deschamps memimpin Les Bleus menghadapi Zlatko Dadic yang dipercaya melatih tim Vatreni Kroasia.
Tepat pukul 22 wib, koran sebenarnya sudah ready to publish tinggal nunggu foto momen piala dunia saja.
Skor 1-0 untuk Prancis hasil tendangan bebas Antoine Griezmann yang disambut sundulan Mario Mandzukic menghasilkan gol bunuh diri.
Gol tersebut dibalas Kroasia hasil tendangan keras Ivan Perisic yang bahu-membahu dengan Luca Modric sang kapten dan Ivan Rakitic.
Skor kembali 1-1. Saya masih cek ricek halaman satu dan halaman tiga. Tulisan perspektif Direktur Kementerian Perdagangan ternyata panjang benar dan mbulet, jadi kudu disunting dengan baik biar alur cerita tulisannya mudah dipahami.
Tapi teman-teman di bagian tata letak di depan Macintosh-nya teriak penalti!
Wasit Nestor Pitana harus mengambil keputusan berdasarkan tayangan The Video Assistant Referee (VAR) System dan memutuskan itu penalti! Kontroversi mungkin saja, tetapi sepakbola apalagi di ajang Piala Dunia selalu menghadirkan drama-drama.
Saya cuma melirik sekilas dan yakin pasti gol kalau Griezmann yang jadi eksekutor. Dan benar saja, penaltinya mulus membuat kiper Kroasia, Danijel Subasic tak mampu berbuat banyak.
Kisah Subasic ada juga yang istimewa.
Ternyata statistik mencatat, dalam tiga Piala Dunia terakhir tim yang kalah selalu mengandalkan kiper yang pernah bermain atau masih bermain di AS Monaco. Subasic pun ternyata memperpanjang daftar ini.
Dimulai dari Piala Dunia 2006. Prancis kalah dari Italia. Kiper Prancis saat itu adalah Fabian Barthez, dia pernah bermain untuk Monaco pada periode 1995-2000.
Berikutnya, Piala Dunia 2010. Belanda dikalahkan Spanyol. Kiper Belanda saat itu, Maarten Stekelenburg kemudian bermain untuk AS Monaco pada 2014-15.
Selanjutnya, Piala Dunia 2014. Argentina takluk di hadapan Jerman. Kiper Argentina saat itu, Sergio Romero bermain di AS Monaco pada 2013-14.
Adapun yang terbaru Danijel Subasic, dia masih menjadi kiper Monaco sejak 2012 lalu.
Kembali ke laptop— jargon lelucuan Thukul yang mungkin tak lagi populer— babak pertama ditutup skor 2-1 untuk Prancis. Sudah jadi pengetahuan umum pula kalau Griezmann mencetak gol, maka Prancis gak pernah kalah di pertandingan tersebut. Saya mulai tenang, pekerjaan 99% selesai, tinggal nunggu babak kedua.
Dua tivi di lantai 6 ini jadi pusat perhatian kami. Babak 45 menit kedua dimulai.
Saya semakin percaya diri bahwa Les Bleus akan menjadi juara karena di babak kedua ini N'Golo Kante sang pemikul air, masih menjadi andalan perebut bola di daerah 16.
Olivier Giroud sang striker yang rekan setim Kante di Chelsea, belum jua mencetak gol. Tapi tak apa, karena pada 1998 pun Stéphane Pierre Yves Guivarc'h juga tak mencetak satu gol pun meski jadi striker utama dengan main 6 pertandingan.
Tak lama, Paul Pogba mencetak gol. Pemain MU— malas sebenarnya nyebut nama tim Manchester United ini— menunjukkan dia bisa diandalkan dan jadi motor serangan tim. Sebagai muslim, Pogba bahkan umrah sebelum piala dunia.
Skor 3-1 pun membuat beberapa teman yang mendukung Kroasia mulai realistis.
Tak berapa lama, Kylian Mbappe— pemain muda idola baru— mencetak gol hasil serangan balik, pola serangan andalan Prancis selama piala dunia kali ini.
Lagi-lagi skor 4-1 membuat pendukung Kroasia semakin murung, bahkan ada yang langsung pulang dari kantor. Alasannya ngejar jadwal KRL, takut kemalaman.
Menit pertandingan menuju angka 70 ketika Hugo Lloris membikin blunder dan dimanfaatkan Mandzukic menjadi gol. Sontak, fans Kroasia tersenyum dan perasaan saya mulai cemas. Takut skornya terkejar.
Jika Kroasia nyetak satu gol lagi, mental pemain Prancis pasti jatuh, pikir saya. Ah tapi tak perlu takut dengan omongan orang.
Percuma saja mereka bilang siklus ini lah, siklus itu lah, football coming home lah, #GantiJuara2018 lah.
Namun, dasar mental juara, hingga perpanjangan 5 menit pun, skor tak berubah 4-2. Dan semesta alam pun berbahagia. Saya melirik jam udah lewat tengah malam.
Mr. Bowie (Firman Wibowo)— editor foto— menyahut, “caption udah dibikin, fotonya yang angkat piala aja ya,”
Saya mengiyakan, “Tentu, ini 4 tahun sekali, besok semua koran pasti fotonya Prancis Juara Dunia.”
Alhasil, jam 01.00 wib tanggal 16 Juli 2018 baru file koran dikirim ke kawan-kawan di percetakan di Pulogadung.
Pffuuiiih.... lega, dan lifted !
Setidaknya saya siap menerima ucapan selamat, sindiran, dan senyuman dari para sohib seperti Arif Muslim yang menjagokan Brazil, Rizki Jon Budiono yang rasanya Inggris banget, serta fans Jerman, Argentina, Spanyol dan lainnya.
Biar bagaimanapun, seperti kata Winston Churcill, History is written by the victors.
Sejarah ditulis oleh para pemenang.
dan Juara bebas ngomong apa saja!
Comments