Kali Ini Lebih Berimbang dan Merata
“Pemulihan ini berlanjut dan lebih merata,” kalimat tersebut berulang kali diucapkan Gubernur Bank Indonesia Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, dengan tenang dan penuh kepercayaan diri.
Sebagai pejabat tertinggi di bank sentral, segala pernyataan Agus Martowardojo memang harus diarahkan memberikan keyakinan bagi pelaku ekonomi. Apalagi, jika data-data makroekonomi juga terlihat positif. Pelaku pasar pun kian confidence.
Di hadapan para jurnalis di Jakarta, Rabu (22/11), Gubernur BI memaparkan bagaimana pertumbuhan domestik bruto (PDB) nasional pada kuartal III/2017 mencerminkan fundamental ekonomi yang demikian baik.
“Sekarang itu sudah lebih merata. Memang proyeksi awalnya 5,15% dan hasilnya 5,06% tetapi lebih merata. Biasanya pendorongnya konsumsi, tetapi sekarang lihat ekspor bisa tumbuh 17% dan impor 15%. Ini sinyal yang lebih bagus,” kata Agus.
Selama kuartal III/2017, kontribusi investasi dalam pembentuk PDB juga terlihat masih baik.
Investasi bangunan oleh swasta meningkat, yang terlihat dari realisasi proyek untuk pertokoan dan perumahan, di tengah proyek pemerintah yang akseleratif.
Belum lagi realisasi belanja modal yang utamanya proyek fisik, juga tercatat membaik selama kuartal III/2017.
Namun, tentu tak ada yang sempurna. Data konsumsi rumah tangga memperlihatkan penurunan minor. “Tetapi kalau kita lihat data nilai tukar petani dan upah riil buruh tani sudah membaik,” tutur Agus.
Selama kuartal III/2017, sulit untuk membantah adanya kondisi pelemahan di sektor konsumsi. Indikator penjualan belum menunjukkan perbaikan yang solid.
Di satu sisi, data penjualan sepeda motor pada kuartal III memang tumbuh dua digit di level 18,1% yoy. Hal itu sejalan dengan adanya penyaluran gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil aktif, dan berlanjutnya perbaikan harga komoditas.
“Di Sumatra dan Kalimantan, konsumsi sudah naik. Harga komoditas jika pada 2016 hanya naik 6%, pada 2017 berkisar 18%-21%,” ungkap Agus.
Kondisi serupa juga terjadi di penjualan mobil yang pada kuartal III/2017 tercatat naik 7,8% yoy, yang pemicunya juga dipengaruhi pameran, pemberian diskon serta keluarnya model baru yang harganya relatif terjangkau.
Sementara itu penjualan ritel pada kuartal III tumbuh terbatas dan masih didorong penjualan ritel untuk kelas menengah ke atas.
“Ini bisa dilihat di jaringan ACE Hardware dan Mitra Adi Perkasa. Retail sales biasanya di bawah 5%, seharusnya di atas 7%,” kata Doddy Budi Waluyo, Asisten Gubernur Bank Indonesia.
Sementara itu, penjualan barang durable seperti peralatan elektronik, mebel, dan perabot rumah tangga juga dalam tren yang menurun.
Bank Indonesia mencatatkan sejumlah indikator terkait dengan konsumsi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah belumlah kuat. Sebagai contoh, peningkatan otomatisasi di sektor konstruksi membuat serapan tenaga kerja sektor konstruksi menjadi lebih rendah, sehingga upah riil buruh bangunan pun masih terjadi kontraksi.
Lemahnya pendapatan masyarakat bawah juga bersumber dari pertumbuhan remitansi TKI yang negatif. Kebijakan moratorium yang berdampak pada penurunan jumlah pengiriman TKI berakibat pada kiriman uang pekerja ke daerah asalnya, yang menurun dalam beberapa kuartal terakhir.
Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi yang lebih berimbang tersebut membuat penyerapan tenaga kerja naik di dua sektor penopang, yaitu industri pengolahan, dan perdagangan, hotel, dan restoran.
Tentu saja, korelasi positif dari ekonomi yang membaik adalah dengan peningkatan lowongan pekerjaan. Rata-rata pertumbuhan vacancy/lowongan per bulan pada 2017 tercatat 14,4%, atau lebih baik dibandingkan dengan rata-rata lowongan per bulan tahun lalu yang sebesar 3,4%.
Serapan tenaga kerja yang naik tersebut mengarah ke sektor informal, dibandingkan dengan penyerapan sektor formal.
Tingginya penyerapan kerja sektor jasa di perkotaan mendorong akselerasi urbanisasi, yang tercermin pada peningkatan pangsa jumlah penduduk kota sejak 2016. Namun, terbatasnya lapangan kerja karena faktor otomatisasi industri, skill mismatch, dan minimnya produktivitas membuat tingkat kemiskinan penduduk di perkotaan lebih besar dari perdesaan.
KUARTAL TERAKHIR
Lalu bagaimana dengan proyeksi kuartal IV? Seberapa optimiskah bank sentral memandang kondisi makroekonomi?
Bagi para pejabat bank sentral, perkembangan indikator-indikator ekonomi ternyata masih berpihak kepada mereka. Hingga Oktober saja, indikator semacam penjualan semen, mobil, belanja pemerintah, dan ekspor cenderung membaik.
Penjualan semen per Oktober 2017 tercatat naik hingga mendekati 8%, yang diikuti penjualan bahan konstruksi dari logam ke level positif.
Begitu pula dengan penjualan mobil pada Oktober yang tumbuh 2,5% setelah mencatatkan minus 5,3% pada September. Kondisi akselerasi ini diperkirakan tetap terjadi pada 2 bulan tersisa.
Adapun belanja negara baik barang dan modal juga tancap gas pada Oktober. Tak lupa, dana bantuan sosial (bansos), transfer ke daerah, dan dana desa pun penyalurannya telah di atas 80%.
“Kami lihat akan keluar Rp450 triliun pada kuartal IV ini sebagai belanja negara. Karena itu dengan data-data tersebut kami bisa memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2017 sekitar 5,2%,” kata Doddy Waluyo.
Di sisi lain, tugas Bank Indonesia menjaga nilai rupiah dari sisi harga barang (inflasi) dan nilai tukar juga menghadapi tantangan pada akhir tahun.
Untuk harga-harga barang, Agus Martowardojo dan jajarannya boleh berbangga karena posisi inflasi bisa lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 3,49% karena harga pangan yang terjaga relatif rendah, kecuali beras yang meningkat sejak September.
“Kami yakin inflasi 2017 bisa 3%-3,5% dan ini bisa lebih baik lagi di 2018,” kata Agus, yakin.
Seiring dengan itu, nilai tukar rupiah pun dijaga ketat agar mencerminkan fundamental ekonomi yang baik dan kuat. Rata-rata pergerakan nilai tukar rupiah hingga 17 November cenderung stabil pada level Rp13.544 per dolar AS.
Sebagai perbandingan pada kuartal III, nilai tukar rupiah melemah 0,19% (Rp13.309—Rp13.333 per dolar AS). Bahkan pada Oktober, volatilitas rupiah turun menjadi 4,4%.
“Kita lihat sekarang rupiah depresiasi itu mungkin hanya 0,5% di tengah kondisi global saat ini, masih dalam batas yang bisa diterima. Sekarang, volatilitasnya sudah membaik di 3,2% year to date,” kata Agus.
Tentu saja, pekerjaan mewujudkan dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang merata dan berimbang itu bukanlah hal mudah. Reformasi struktural di sisi sektor riil berupa perbaikan indeks ease of doing business harus terus dimaksimalkan.
Adapun reformasi sektor fiskal seperti perpajakan, implementasi sistem pertukaran informasi secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI), harus terus berlanjut.
Tentu, semua itu membutuhkan kerja sama, koordinasi dan upaya saling bahu membahu, baik Bank Indonesia selaku otoritas moneter maupun Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal.
Jika keduanya selaras dalam kebijakan, kita tentu bisa lebih berharap pertumbuhan ekonomi nasional tak hanya berimbang dan merata, tetapi bisa melenting ke level lebih tinggi lagi.
Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia Edisi Kamis 23 November 2017
http://koran.bisnis.com/read/20171123/433/711713/pertumbuhan-ekonomi-nasional-kali-ini-lebih-merata
Sebagai pejabat tertinggi di bank sentral, segala pernyataan Agus Martowardojo memang harus diarahkan memberikan keyakinan bagi pelaku ekonomi. Apalagi, jika data-data makroekonomi juga terlihat positif. Pelaku pasar pun kian confidence.
Di hadapan para jurnalis di Jakarta, Rabu (22/11), Gubernur BI memaparkan bagaimana pertumbuhan domestik bruto (PDB) nasional pada kuartal III/2017 mencerminkan fundamental ekonomi yang demikian baik.
“Sekarang itu sudah lebih merata. Memang proyeksi awalnya 5,15% dan hasilnya 5,06% tetapi lebih merata. Biasanya pendorongnya konsumsi, tetapi sekarang lihat ekspor bisa tumbuh 17% dan impor 15%. Ini sinyal yang lebih bagus,” kata Agus.
Selama kuartal III/2017, kontribusi investasi dalam pembentuk PDB juga terlihat masih baik.
Investasi bangunan oleh swasta meningkat, yang terlihat dari realisasi proyek untuk pertokoan dan perumahan, di tengah proyek pemerintah yang akseleratif.
Belum lagi realisasi belanja modal yang utamanya proyek fisik, juga tercatat membaik selama kuartal III/2017.
Namun, tentu tak ada yang sempurna. Data konsumsi rumah tangga memperlihatkan penurunan minor. “Tetapi kalau kita lihat data nilai tukar petani dan upah riil buruh tani sudah membaik,” tutur Agus.
Selama kuartal III/2017, sulit untuk membantah adanya kondisi pelemahan di sektor konsumsi. Indikator penjualan belum menunjukkan perbaikan yang solid.
Di satu sisi, data penjualan sepeda motor pada kuartal III memang tumbuh dua digit di level 18,1% yoy. Hal itu sejalan dengan adanya penyaluran gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil aktif, dan berlanjutnya perbaikan harga komoditas.
“Di Sumatra dan Kalimantan, konsumsi sudah naik. Harga komoditas jika pada 2016 hanya naik 6%, pada 2017 berkisar 18%-21%,” ungkap Agus.
Kondisi serupa juga terjadi di penjualan mobil yang pada kuartal III/2017 tercatat naik 7,8% yoy, yang pemicunya juga dipengaruhi pameran, pemberian diskon serta keluarnya model baru yang harganya relatif terjangkau.
Sementara itu penjualan ritel pada kuartal III tumbuh terbatas dan masih didorong penjualan ritel untuk kelas menengah ke atas.
“Ini bisa dilihat di jaringan ACE Hardware dan Mitra Adi Perkasa. Retail sales biasanya di bawah 5%, seharusnya di atas 7%,” kata Doddy Budi Waluyo, Asisten Gubernur Bank Indonesia.
Sementara itu, penjualan barang durable seperti peralatan elektronik, mebel, dan perabot rumah tangga juga dalam tren yang menurun.
Bank Indonesia mencatatkan sejumlah indikator terkait dengan konsumsi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah belumlah kuat. Sebagai contoh, peningkatan otomatisasi di sektor konstruksi membuat serapan tenaga kerja sektor konstruksi menjadi lebih rendah, sehingga upah riil buruh bangunan pun masih terjadi kontraksi.
Lemahnya pendapatan masyarakat bawah juga bersumber dari pertumbuhan remitansi TKI yang negatif. Kebijakan moratorium yang berdampak pada penurunan jumlah pengiriman TKI berakibat pada kiriman uang pekerja ke daerah asalnya, yang menurun dalam beberapa kuartal terakhir.
Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi yang lebih berimbang tersebut membuat penyerapan tenaga kerja naik di dua sektor penopang, yaitu industri pengolahan, dan perdagangan, hotel, dan restoran.
Tentu saja, korelasi positif dari ekonomi yang membaik adalah dengan peningkatan lowongan pekerjaan. Rata-rata pertumbuhan vacancy/lowongan per bulan pada 2017 tercatat 14,4%, atau lebih baik dibandingkan dengan rata-rata lowongan per bulan tahun lalu yang sebesar 3,4%.
Serapan tenaga kerja yang naik tersebut mengarah ke sektor informal, dibandingkan dengan penyerapan sektor formal.
Tingginya penyerapan kerja sektor jasa di perkotaan mendorong akselerasi urbanisasi, yang tercermin pada peningkatan pangsa jumlah penduduk kota sejak 2016. Namun, terbatasnya lapangan kerja karena faktor otomatisasi industri, skill mismatch, dan minimnya produktivitas membuat tingkat kemiskinan penduduk di perkotaan lebih besar dari perdesaan.
KUARTAL TERAKHIR
Lalu bagaimana dengan proyeksi kuartal IV? Seberapa optimiskah bank sentral memandang kondisi makroekonomi?
Bagi para pejabat bank sentral, perkembangan indikator-indikator ekonomi ternyata masih berpihak kepada mereka. Hingga Oktober saja, indikator semacam penjualan semen, mobil, belanja pemerintah, dan ekspor cenderung membaik.
Penjualan semen per Oktober 2017 tercatat naik hingga mendekati 8%, yang diikuti penjualan bahan konstruksi dari logam ke level positif.
Begitu pula dengan penjualan mobil pada Oktober yang tumbuh 2,5% setelah mencatatkan minus 5,3% pada September. Kondisi akselerasi ini diperkirakan tetap terjadi pada 2 bulan tersisa.
Adapun belanja negara baik barang dan modal juga tancap gas pada Oktober. Tak lupa, dana bantuan sosial (bansos), transfer ke daerah, dan dana desa pun penyalurannya telah di atas 80%.
“Kami lihat akan keluar Rp450 triliun pada kuartal IV ini sebagai belanja negara. Karena itu dengan data-data tersebut kami bisa memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2017 sekitar 5,2%,” kata Doddy Waluyo.
Di sisi lain, tugas Bank Indonesia menjaga nilai rupiah dari sisi harga barang (inflasi) dan nilai tukar juga menghadapi tantangan pada akhir tahun.
Untuk harga-harga barang, Agus Martowardojo dan jajarannya boleh berbangga karena posisi inflasi bisa lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 3,49% karena harga pangan yang terjaga relatif rendah, kecuali beras yang meningkat sejak September.
“Kami yakin inflasi 2017 bisa 3%-3,5% dan ini bisa lebih baik lagi di 2018,” kata Agus, yakin.
Seiring dengan itu, nilai tukar rupiah pun dijaga ketat agar mencerminkan fundamental ekonomi yang baik dan kuat. Rata-rata pergerakan nilai tukar rupiah hingga 17 November cenderung stabil pada level Rp13.544 per dolar AS.
Sebagai perbandingan pada kuartal III, nilai tukar rupiah melemah 0,19% (Rp13.309—Rp13.333 per dolar AS). Bahkan pada Oktober, volatilitas rupiah turun menjadi 4,4%.
“Kita lihat sekarang rupiah depresiasi itu mungkin hanya 0,5% di tengah kondisi global saat ini, masih dalam batas yang bisa diterima. Sekarang, volatilitasnya sudah membaik di 3,2% year to date,” kata Agus.
Tentu saja, pekerjaan mewujudkan dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang merata dan berimbang itu bukanlah hal mudah. Reformasi struktural di sisi sektor riil berupa perbaikan indeks ease of doing business harus terus dimaksimalkan.
Adapun reformasi sektor fiskal seperti perpajakan, implementasi sistem pertukaran informasi secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI), harus terus berlanjut.
Tentu, semua itu membutuhkan kerja sama, koordinasi dan upaya saling bahu membahu, baik Bank Indonesia selaku otoritas moneter maupun Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal.
Jika keduanya selaras dalam kebijakan, kita tentu bisa lebih berharap pertumbuhan ekonomi nasional tak hanya berimbang dan merata, tetapi bisa melenting ke level lebih tinggi lagi.
Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia Edisi Kamis 23 November 2017
http://koran.bisnis.com/read/20171123/433/711713/pertumbuhan-ekonomi-nasional-kali-ini-lebih-merata
Comments