Skip to main content

Solo, Assalaam, dan Memori sekolah




Hanya satu di pikiran kala menerima telepon dari bos soal tugas kantor ke Solo, saya harus menyempatkan diri ke Assalaam, kapan pun jamnya.

Jam masih menunjukkan pukul 11.00 kala Garuda mendarat di Bandara Adi Sumarmo, banyak orang tetapi jelas lebih sepi dibandingkan Bandara Soekarno-Hatta misalnya.

Tugas resmi dari kantor adalah menuju markas Solopos untuk ikut rapat koordinasi dengan Solopos dan Harjo soal sindikasi berita dan pengembangan konten. "Ketemu di kantor saja, kami lagi on the way," kata Adit, bos Solopos yang baru berangkat dari Jogja bersama Hery, bos Harjo.

Rapat masih jam 1 siang... berleha-leha cukup seperempat jam dan taksi bandara pun melaju ke jalan Adisutjipto, dan seperempat jam juga kaki ini telah menginjak parkiran gedung Solopos.

"Mas, yang dari Jakarta ya?... tunggu sebentar ya," kata gadis manis.

Satpam datang dan mengawal saya ke ruang pemred. "Numpang ngadem di ruang pemred memang enak.. AC-nya cepoi-cepoi.. tapi mau tidur di sofa takut tengsin.. ya udah... duduk manis dan baca tumpukan koran di meja..."

Lumayan 45 menit kedinginan... ditemani secangkir kopi.

Rapat dimulai jam 1 lewat dikiiit.. dikit doang.. rutinitas biasa... ide, gagasan, perdebatan, semua jadi satu. Semua sepakat dan rapat selesai.. tak sadar udah mau jam 4 sore. Perut ini terasa lapar dan benar lapar keroncongan....

Makan nasi bandeng, nasi terik, tempe tahu bacem minumnya wedang jahe asli di dalam gelas memang nikmat kala Solo diguyur hujan sore-sore itu. Di linimasa twitter, saat yang sama, banyak orang berteriak soal macet dan banjir di Jakarta... pancaroba yang rutin.

Nginapnya di mana? voucher Kusuma Sahid Prince Hotel ini lumayanlah untuk tempat nginap... "Woiii itu bukan lumayan.. hotel bintang lima ya jelas wueenak tenan"

Taksi hotel ini merek xenia, sopirnya bernama Dony, anak muda berbadan gempal, rambut dicat pirang dan dari bau rokoknya.. dia fans Garfilt.. gudang garam filter...

Namanya juga anak muda, hujan gerimis tak membuat gayanya bawa mobilnya si Dony ini pelan-pelan.. Orang jawa boleh bilang alon-alon asal kelakon, tapi bagi Dony.. cepat tapi selamat.. dan saya cuma meringis duduk di bangku tengah...

"Ke Assalaam ya, tahu kan?"

"Yang pondok itu kan ya mas?"

"Benar.. kita ke sana ya, ada yang ingin saya lihat. Kalau malam begini, kita boleh masuk asramanya gak ya?"

"Wah saya ndak tahu mas, tapi kayaknya sih boleh aja. Nanti coba kita lihat.."

Lewat depan Rumah Sakit Islam Surakarta, saya langsung ingat ini pasti jalan ahmad yani, wilayah Pabelan, Surakarta dan tentunya masuk daerah Sukoharjo. Beberapa puluh meter lagi, kita ketemu pertigaan.

Daerah itu memang akrab dengan saya kala menetap di sana saat periode 1989-1992. Pertigaan itu menjadi tempat naik bis tingkat di Solo yang begitu melegenda. Pertigaan tempat mahasiswa-mahasiswi Univ. Muhammadiyah Surakarta (UMS) nongkrong jaman dulu.

Apa itu Assalaam, ini penjelasan ringkasnya.. http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_Pesantren_Modern_Islam_Assalaam

Assalam jelas kini jauh berbeda, bukan karena itu malam hari di tengah gerimis. Wilayah bagian santri putra di bagian kanan GOR Assalaam kini tak ada lagi. "Sudah jadi tempat santriwati..." kata teman saya di pesbuk.

Tempat santriwan kini tepat di bagian depannya, atau seberang jalan doang sih. Saya bahkan masih terheran-heran dengan kondisi tersebut. Gonilan kini juga masuk wilayah Assalaam.

"Itu tempat asrama puteranya mas," kata Dony.

Saya mengiyakan dan masih terkesima dengan kompleks asrama putera yang kok rasanya aneh. Maklum.. terakhir saya ke Assalaam itu 1996. Saat itu, saya cuma mampir sebentar jalan-jalan dengan teman, dan kompleks santri putera belum pindah.

Dulu kami selalu berkumpul di Gelora (gedung GOR) yang menjadi pusat kegiatan. Sholat jamaah bahkan di Gelora karena mesjid besar itu belum jadi. Kelas-kelas putera, kamar-kamar KPA (isi 20 orang), Kapatra (kamar terbatas 4 orang) dan perumahan ustadz kini jelas tak lagi sama.

Eniwei... puas tak puas... Assalaam sudah di depan mata.

"Ada yang mau mondok di sini ya mas?" tanya Dony.

Lagi-lagi saya mengiyakan.

"Anak sampeyan ya mas, yang mau mondok?" dia kembali bertanya.

"Oh bukan, anak saudara," jawab saya sekenanya. Memori lama masih menari di benak ini.

"Oke, kita jalan lagi ke Solopost.... " Dony pun ngebut.


Ah Solo... ah Assalaam... kawah candradimuka

Comments

TO BE THE BEST said…
aku juga dulu pernah disini, benar2 sekarang berubah sekali..., apa kabar bro?
fa said…
baik bro, gimana kabare?

Popular posts from this blog

A Story of Puang Oca & Edi Sabara Mangga Barani

Mantan Wakapolri M. Jusuf Mangga Barani mengaku serius menekuni bisnis kuliner, setelah pensiun dari institusi kepolisian pada awal 2011 silam. Keseriusan itu ditunjukan dengan membuka rumah makan seafood Puang Oca pertama di Jakarta yang terletak di Jalan Gelora Senayan, Jakarta. "Saya ini kan hobi masak sebelum masuk kepolisian. Jadi ini menyalurkan hobi, sekaligus untuk silaturahmi dengan banyak orang. Kebetulan ini ada tempat strategis," katanya 7 Desember 2011. Rumah makan Puang Oca Jakarta ini merupakan cabang dari restoran serupa yang sudah dibuka di Surabaya. Manggabarani mengatakan pada prinsinya, sebagai orang Makassar, darah sebagai saudagar Bugis sangat kental, sehingga dia lebih memilih aktif di bisnis kuliner setelah purna tugas di kepolisian. Rumah makan Puang Oca ini menawarkan menu makanan laut khas Makassar, namun dengan cita rasa Indonesia. Menurut Manggabarani, kepiting, udang dan jenis ikan lainnya juga didatangkan langsung dari Makassar untuk menjamin ke...

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi

BERDIRI menelepon di pintu pagar markasnya, rumah tipe 36 di Kaveling DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Umar Ohoitenan Kei, 33 tahun, tampak gelisah. Pembicaraan terkesan keras. Menutup telepon, ia lalu menghardik, “Hei! Kenapa anak-anak belum berangkat?” Hampir setengah jam kemudian, pada sekitar pukul 09.00, pertengahan Oktober lalu itu, satu per satu pemuda berbadan gelap datang. Tempat itu mulai meriah. Rumah yang disebut mes tersebut dipimpin Hasan Basri, lelaki berkulit legam berkepala plontos. Usianya 40, beratnya sekitar 90 kilogram. Teh beraroma kayu manis langsung direbus-bukan diseduh-dan kopi rasa jahe segera disajikan. Hasan mengawali hari dengan membaca dokumen perincian utang yang harus mereka tagih hari itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Hasan membentak pemuda pembawa dokumen. Yang dibentak tak menjawab, malah melengos dan masuk ke ruang dalam.Umar Kei, 33 tahun, nama kondang Umar, tampak terkejut. Tapi hanya sedetik, setelah itu terbahak. Dia tertawa sampai ...

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Saya paling suka cerita dan film tentang thriller, mirip mobster, yakuza, mafia dll. Di Indonesia juga ada yang menarik rasa penasaran seperti laporan Tempo 15 November 2010 yang berjudul GENG REMAN VAN JAKARTA. >(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/15/INT/mbm.20101115.INT135105.id.html) TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. "Saya lari ke atas," kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman atau geng reman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. "Anak buah saya berkumpul di lantai tiga." Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semaran...