Empat hal penting di INDUSTRI TAMBANG....
Namanya Harry, pengusaha keturunan, lebih tepatnya seorang pengusaha bidang tambang dan energi.
Kami bertemu beberapa kali kala dia berhasil mendapatkan jadwal bertemua bapak saya di hotel itu. Tentu jadwal yang diperoleh dari ajudan bapak, tak lah sekedar meminta tolong.. Selalu ada pamrih.
Pamrih pula yang membuat Harry begitu getol meyakinkan bapak saya soal izin tambang. Perusahaan Harry memang berusaha mendapatkan izin tambang emas di daerah yang menjadi administrasi Kota yang dipimpin bapak.
Saya tahu bapak punya cara tersendiri menghadapi lobi pengusaha. Namun soal tambang, saya juga cukup paham karena terkait dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Harry jelas paham itu, dan presentasi di depan saya dengan foto-foto bongkahan emas menjadi begitu penting baginya.
Namun, tambang itu soal serius. Tambang bukan sekedar mensyukuri karunia Tuhan yang terkandung di dalam tanah. Kompleksitasnya begitu besar zaman sekarang.
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyoroti empat hal penting yang berkembang secara nasional belakangan ini dan memberi dampak bagi industri pertambangan.
Ketua Umum Perhapi Irwandy Arif mengatakan keempat hal itu harus segera dipecahkan bersama. Pertama, masalah rekonsiliasi pertambangan. Per 27 Februari 2012, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) saat ini sudah mencapai 10.235 dan baru 4.151 IUP yang clean and clear, yang kebanyakannya adalah tambang batu bara.
“Dari jumlah ini jelas bahwa masih banyak ribuan pelaku usaha tambang yang sebagian besar belum mempunyai pengetahuan industri pertambangan,” ujarnya 12 Maret 2012.
Irwandy mengatakan jika pemerintah tetap ingin menggerakkan industri ini dengan ribuan pelaku usaha yang ada, maka pembangunan sumber daya manusia terkait industri tambang, harus menjadi prioritas.
Kedua, masalah konflik sosial. Perhapi menyoroti bahwa saat ini tambang lebih banyak muncul image negatif-nya dalam pemberitaan, dibandingkan dengan image positif-nya. Namun hingga hari ini, belum pernah dilakukan riset terhadap sebab, dinamika, dan solusi secara nasional terkait konflik sosial akibat tambang. Oleh sebab itu, diperlukan riset yang tuntas dalam masalah ini.
“Beberapa waktu lalu, Bupati Bima tiba-tiba mencabut IUP Sumber Mineral Nusantara. Komentar-komentar yang ada terkait konflik sosial tambang saat ini juga hanya bersifat parsial,” ujarnya.
Ketiga, masalah rekonsiliasi cadangan batu bara. Menurut Irwandy, batu bara harus dilihat sebagai sumber energi, bukan sekedar komoditas perdagangan. Selain itu, perhitungan yang saat ini menggunakan ton, semestinya mulai diubah menjadi perhitungan dalam kilokalori per kg (KKal/Kg).
“Batu bara saat ini lebih banyak dipandang sebagai revenue driver. Ke depan, batu bara harus lebih didorong agar bisa dilihat sebagai economic booster, seperti untuk menggerakkan sektor kelistrikan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi,” ujarnya.
Ketua Indonesian Coal Society Singgih Widagdo mengatakan batu bara harus ditempatkan sebagai industri energi nasional. Saat pengelolaan batu bara diserahkan kepada daerah, kini muncul ribuan tambang baru sehingga batu bara menjadi susah dikontrol.
Terakhir, masalah keempat adalah kebijakan nilai tambah untuk mineral dan batu bara. Irwandy mengatakan nilai tambah saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, meski ada sejumlah pihak yang mempersoalkan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Seperti diketahui, dalam pasal 21 permen tersebut dituliskan bahwa pada saat Permen ini mulai berlaku, Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Permen ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak berlakunya Permen ini, yang artinya adalah pada 6 Mei.
“Mungkin pemerintah mau bikin shock therapy menjadi 3 bulan akan dilarang ekspor, karena sejak UU Minerba diundangkan pada 2009, kok nilai tambah ini sudah 3 tahun [sekarang sudah 2012] ngga jalan?,” ujarnya.
ah masalah tambang memang bikin mumet...
Kami bertemu beberapa kali kala dia berhasil mendapatkan jadwal bertemua bapak saya di hotel itu. Tentu jadwal yang diperoleh dari ajudan bapak, tak lah sekedar meminta tolong.. Selalu ada pamrih.
Pamrih pula yang membuat Harry begitu getol meyakinkan bapak saya soal izin tambang. Perusahaan Harry memang berusaha mendapatkan izin tambang emas di daerah yang menjadi administrasi Kota yang dipimpin bapak.
Saya tahu bapak punya cara tersendiri menghadapi lobi pengusaha. Namun soal tambang, saya juga cukup paham karena terkait dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Harry jelas paham itu, dan presentasi di depan saya dengan foto-foto bongkahan emas menjadi begitu penting baginya.
Namun, tambang itu soal serius. Tambang bukan sekedar mensyukuri karunia Tuhan yang terkandung di dalam tanah. Kompleksitasnya begitu besar zaman sekarang.
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyoroti empat hal penting yang berkembang secara nasional belakangan ini dan memberi dampak bagi industri pertambangan.
Ketua Umum Perhapi Irwandy Arif mengatakan keempat hal itu harus segera dipecahkan bersama. Pertama, masalah rekonsiliasi pertambangan. Per 27 Februari 2012, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) saat ini sudah mencapai 10.235 dan baru 4.151 IUP yang clean and clear, yang kebanyakannya adalah tambang batu bara.
“Dari jumlah ini jelas bahwa masih banyak ribuan pelaku usaha tambang yang sebagian besar belum mempunyai pengetahuan industri pertambangan,” ujarnya 12 Maret 2012.
Irwandy mengatakan jika pemerintah tetap ingin menggerakkan industri ini dengan ribuan pelaku usaha yang ada, maka pembangunan sumber daya manusia terkait industri tambang, harus menjadi prioritas.
Kedua, masalah konflik sosial. Perhapi menyoroti bahwa saat ini tambang lebih banyak muncul image negatif-nya dalam pemberitaan, dibandingkan dengan image positif-nya. Namun hingga hari ini, belum pernah dilakukan riset terhadap sebab, dinamika, dan solusi secara nasional terkait konflik sosial akibat tambang. Oleh sebab itu, diperlukan riset yang tuntas dalam masalah ini.
“Beberapa waktu lalu, Bupati Bima tiba-tiba mencabut IUP Sumber Mineral Nusantara. Komentar-komentar yang ada terkait konflik sosial tambang saat ini juga hanya bersifat parsial,” ujarnya.
Ketiga, masalah rekonsiliasi cadangan batu bara. Menurut Irwandy, batu bara harus dilihat sebagai sumber energi, bukan sekedar komoditas perdagangan. Selain itu, perhitungan yang saat ini menggunakan ton, semestinya mulai diubah menjadi perhitungan dalam kilokalori per kg (KKal/Kg).
“Batu bara saat ini lebih banyak dipandang sebagai revenue driver. Ke depan, batu bara harus lebih didorong agar bisa dilihat sebagai economic booster, seperti untuk menggerakkan sektor kelistrikan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi,” ujarnya.
Ketua Indonesian Coal Society Singgih Widagdo mengatakan batu bara harus ditempatkan sebagai industri energi nasional. Saat pengelolaan batu bara diserahkan kepada daerah, kini muncul ribuan tambang baru sehingga batu bara menjadi susah dikontrol.
Terakhir, masalah keempat adalah kebijakan nilai tambah untuk mineral dan batu bara. Irwandy mengatakan nilai tambah saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, meski ada sejumlah pihak yang mempersoalkan Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Seperti diketahui, dalam pasal 21 permen tersebut dituliskan bahwa pada saat Permen ini mulai berlaku, Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Permen ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak berlakunya Permen ini, yang artinya adalah pada 6 Mei.
“Mungkin pemerintah mau bikin shock therapy menjadi 3 bulan akan dilarang ekspor, karena sejak UU Minerba diundangkan pada 2009, kok nilai tambah ini sudah 3 tahun [sekarang sudah 2012] ngga jalan?,” ujarnya.
ah masalah tambang memang bikin mumet...
Comments