Adu Untung Antam vs Inco
Keduanya menggeluti bisnis nikel, sama-sama membukukan kinerja positif tahun lalu. Namun, pertumbuhan efisiensi PT Aneka Tambang Tbk (Antam) mengungguli PT International Nickel Indonesia Tbk (Inco).
Meski pendapatan Inco tumbuh 60% dan melibas Antam yang hanya naik 0,39% tahun lalu, tidak demikian halnya dengan pos laba bersih. Lonjakan laba bersih anak usaha Vale ini tercatat 145%, tidak cukup mengimbangi kenaikan laba bersih Antam yang mencapai 178,5%.
Pada ujungnya, margin laba bersih Antam melesat 177,42%, jauh melampaui margin laba bersih Inco yang hanya 53,01%. Margin laba bersih BUMN ini pun melonjak 177,42% menjadi 19,25%, jauh lebih tinggi dari lompatan margin Inco yang hanya 53,01%.
Di sisi lain, margin laba kotor Antam yang biasa digunakan untuk mengukur efisiensi perseroan juga meningkat 19,6% dari 13,8% menjadi 33,4%.
Analis PT JP Morgan Securities Indonesia Stevanus Juanda mencatat Inco tahun lalu telah berupaya meningkatkan efisiensinya, dengan menjalankan program pengalihan (konversi) fasilitas pengering dari bahan bakar minyak (BBM) menjadi batu bara.
Namun sayang, keuntungan dari efisiensi tidak bisa dibukukan pada tahun lalu karena proyek tersebut belum selesai dan nilai efisiensinya pun berpotensi lebih kecil dari perkiraan semula.
Semula, manajemen Inco mengumumkan proyek konversi pengering tersebut akan berujung pada penghematan US$0,1 hingga US$0,2 per pon, berdasarkan asumsi harga minyak mentah sebesar US$66 per barel dan harga batu bara US$49 per ton.
"Biaya terbaru dan jangka waktu program ini belum diperbarui, tetapi kami mengasumsikan biaya proyek tersebut akan berkisar US$100 juta dan selesai pada 2012," tutur Stevanus dalam laporan riset per 23 Maret.
Mengacu pada proyeksi J.P. Morgan terhadap harga minyak mentah dunia pada 2013 sebesar US$120 per barel dan harga batu bara US$110 per ton, selisih penghematan kedua komoditas diperkirakan hanya US$10 per ton, lebih rendah dari perkiraan semula US$17 per ton.
Kondisi berbeda dialami oleh Antam yang membukukan efisiensi pada tahun lalu, disumbang dividen dari anak usaha yang mencapai Rp268 miliar, sehingga laba bersih 2010 naik melampaui konsensus pasar.
Analis PT Kresna Securities Mardesiana mencatat margin laba bersih perusahaan pelat merah ini naik mengikuti kuatnya kenaikan margin laba kotor dan margin laba operasi, serta penghematan sebesar Rp225,5 miliar.
"Penghematan tersebut sebagian berasal dari keputusan manajemen mengurangi aktivitas transaksi emas," komentarnya dalam laporan riset per 1 Maret.
Penjualan akhir 2010, lanjutnya, memang relatif datar pada angka Rp8,8 triliun dan semata diuntungkan oleh kenaikan produksi dan rerata harga jual tahun lalu masing-masing 49% dan 48%. Kondisi ini diperkirakan berlanjut karena suplai global belum berimbang.
Kuatnya bisnis nikel tersebut cukup untuk mengimbangi penurunan kontribusi bisnis emas yang menjadi target penghematan perseroan. Kontribusi nikel tercatat naik menjadi 69%, mengembalikan posisinya dari tahun lalu sebesar 44%.
"Kontribusi emas melemah mengikuti keputusan manajemen mengurangi transaksi emas, guna meminimalisir potensi risiko dari fluktuasi harga emas dunia. Kontribusi emas melemah lebih dari 45% dengan harga jual melonjak sekitar 26%," tutur Mardesiana.
Namun, lanjutnya, bisnis emas berpotensi tumbuh sekitar 6% secara tahunan menyusul pengoperasian tambang emas baru Cibaliung. Harga emas juga akan terus menguat mengikuti kondisi ekonomi yang tidak pasti.
Mardesiana memperkirakan rata-rata harga emas US$1.250 per troy ons tahun ini dibandingkan dengan posisi 2010 sebesar US$1.227,5 per troy ons. Kontribusi emas diperkirakan membaik menjadi Rp2,6 triliun tahun ini.
Secara umum, Mardesiana memperkirakan pendapatan bisnis nikel akan stabil di kisaran Rp6 triliun karena harga rata-rata nikel diperkirakan menguat menjadi US$22.250 per ton pada tahun ini.
Namun, JP Morgan menilai Inco memiliki kejutan sendiri bagi investor dengan pembagian dividen lebih besar dari perkiraan. Kas bersih perusahaan asing ini diprediksi US$500 juta pada kuartal I/2011 dengan pembayaran dividen US$300 juta (Rp2,67 triliun), atau Rp272 per saham.
Analisis historis mengindikasikan rasio pembayaran dividen Inco relatif stabil yakni berkisar 65%-75% dari posisi kas net bersih. Perseroan akan melangsungkan rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) untuk mengesahkan pembagian dividen pada Mei 2011.
"Kami yakin pengumuman dividen pada 13 April bisa menjadi katalis harga saham. Laba bersih kuartal I/2011 bisa menjadi kejutan karena pasar mengestimasikan hanya US$86 juta dari laba bersih, dibandingkan dengan perkiraan kami sebesar US$147 juta," ujar Stevanus.
Di sisi lain, saham Antam dengan kelebihan fundamentalnya kini ditransaksikan pada PER sebesar 15,1 kali pada 2011, atau masih lebih rendah dari INCO sebesar 18,4 kali dan juga rerata industri sebesar 15,5 kali.
(please read Bisnis Indonesia Daily Newspaper)
Comments