Itu masa lalu
Hanya tuhan yang tahu.. itu kalimat favorit untuk ungkapan eskapisme yang melanda sebagian besar orang ketika dia tak tahu harus menjawab apa.
Masih saja saya tak paham hingga kini. Kenapa dia begitu menyukai bulutangkis?
"Lho dia kan anggota pelatda, makanya dia latihan bisa 3 kali tiap minggu," ujar kawan si dia, 16 tahun lalu.
"Masa sih? " tanya saya tak percaya.
"Tanya aja sendiri," tutur kawan tadi.
Tapi pertanyaan itu tapi pernah terucap dari mulut saya, meskipun saban kali main ke rumahnya. Entah kenapa, hanya tuhan yang tahu.
Kali ini, selusin tahun lalu, saya masih jua tak bisa mengerti kenapa dia begitu rajin lari pagi di Senayan atau trek jogging lainnya.
"Lho emang mau jadi atlit?" saya bertanya.
"Tau tuh.. dia emang jago lari, dulu waktu SMP dia mau masuk sekolah atlit Ragunan, tapi tante gak mau," kata sang ibu.
"Emang kenapa tante?" tanya saya, polos.
"Lha kamu kan tahu, emang di negera ini kalau jadi atlit sudah enak apa hidupnya?" tukas si ibu.
"Yaa.... siapa yang tahu kan tante," kata saya, sekenanya.
"Ah tante mah gak suka dia jadi atlit, gak apa-apa deh sekolah aja yang benar,"tandas sang ibu.
"Aduh kenapa tidak jadi artis aja tante? kan punya tampang cakep," ujar saya.
Saya sebenarnya malah sempat merasa dia seharusnya ambil jurusan hukum, maklum bapaknya memang sarjana hukum dan nama anak-anaknya juga berbau hukum dan keadilan begitu.
Coba seandainya dia jadi artis.... kan ceritanya gak jadi begini..
"Emang kenapa mi?" tanya teman saya yang suka usil.
"Gak kok cuma berandai-andai dong," jawab saya, latah usil.
"Gw dengar elu suka ama dia?" kata teman itu, belagak jadi wartawan infotainment.
"Hehehehe....kok bisa?" tak membantah.
"Ya iyalah...so why cant this be love?" ujar si usil, sok yakin menirukan judul lagu Van Hallen.
"Hanya tuhan yang tahu," kataku, tak ingin berdebat.
Kembali ke masa kini.
"Sudahlah kawan, itu kan cerita lalu. Mendingan kita ngomongin pilpres besok. elu mo milih siapa?," kata satu kawan belagak bijak kayak ketua KPU berpeci miring.
"Ah itu kan rahasia, tapi kayaknya gw pengen yang tidak lelet, tepat sasaran, gak neko-neko, dan memihak kepentingan masyarakat," kata saya.
"Itu sih elo plin-plan," sergah si kawan tak puas. Dia memang kebanyakan makan pempek jadi pengen yang jelas dan tegas.
"Yaa kalau mau urusan cepat dan tak banyak birokrasi pilih si nomor 3, tapi hati ini memang masih ke nomor 2," kata saya, agak mengerucut.
"Aaah kau ini... kalau memang suka..bilang aja langsung... kan bukan untuk dinikahin kan?"
"Hahahaha kalo yang ini gw tahu jawabnya, gak usah tanya ke tuhan."
Masih saja saya tak paham hingga kini. Kenapa dia begitu menyukai bulutangkis?
"Lho dia kan anggota pelatda, makanya dia latihan bisa 3 kali tiap minggu," ujar kawan si dia, 16 tahun lalu.
"Masa sih? " tanya saya tak percaya.
"Tanya aja sendiri," tutur kawan tadi.
Tapi pertanyaan itu tapi pernah terucap dari mulut saya, meskipun saban kali main ke rumahnya. Entah kenapa, hanya tuhan yang tahu.
Kali ini, selusin tahun lalu, saya masih jua tak bisa mengerti kenapa dia begitu rajin lari pagi di Senayan atau trek jogging lainnya.
"Lho emang mau jadi atlit?" saya bertanya.
"Tau tuh.. dia emang jago lari, dulu waktu SMP dia mau masuk sekolah atlit Ragunan, tapi tante gak mau," kata sang ibu.
"Emang kenapa tante?" tanya saya, polos.
"Lha kamu kan tahu, emang di negera ini kalau jadi atlit sudah enak apa hidupnya?" tukas si ibu.
"Yaa.... siapa yang tahu kan tante," kata saya, sekenanya.
"Ah tante mah gak suka dia jadi atlit, gak apa-apa deh sekolah aja yang benar,"tandas sang ibu.
"Aduh kenapa tidak jadi artis aja tante? kan punya tampang cakep," ujar saya.
Saya sebenarnya malah sempat merasa dia seharusnya ambil jurusan hukum, maklum bapaknya memang sarjana hukum dan nama anak-anaknya juga berbau hukum dan keadilan begitu.
Coba seandainya dia jadi artis.... kan ceritanya gak jadi begini..
"Emang kenapa mi?" tanya teman saya yang suka usil.
"Gak kok cuma berandai-andai dong," jawab saya, latah usil.
"Gw dengar elu suka ama dia?" kata teman itu, belagak jadi wartawan infotainment.
"Hehehehe....kok bisa?" tak membantah.
"Ya iyalah...so why cant this be love?" ujar si usil, sok yakin menirukan judul lagu Van Hallen.
"Hanya tuhan yang tahu," kataku, tak ingin berdebat.
Kembali ke masa kini.
"Sudahlah kawan, itu kan cerita lalu. Mendingan kita ngomongin pilpres besok. elu mo milih siapa?," kata satu kawan belagak bijak kayak ketua KPU berpeci miring.
"Ah itu kan rahasia, tapi kayaknya gw pengen yang tidak lelet, tepat sasaran, gak neko-neko, dan memihak kepentingan masyarakat," kata saya.
"Itu sih elo plin-plan," sergah si kawan tak puas. Dia memang kebanyakan makan pempek jadi pengen yang jelas dan tegas.
"Yaa kalau mau urusan cepat dan tak banyak birokrasi pilih si nomor 3, tapi hati ini memang masih ke nomor 2," kata saya, agak mengerucut.
"Aaah kau ini... kalau memang suka..bilang aja langsung... kan bukan untuk dinikahin kan?"
"Hahahaha kalo yang ini gw tahu jawabnya, gak usah tanya ke tuhan."
Arif Moeslim at 1:00pm July 7
Usil aja teman mu itu,mi.....