Tergelincir Bensin...
Waktu masih sekolah menengah pertama, dua dekade lalu, saya begitu terkagum-kagum dengan penampilan teman yang sebut saja namanya Abdul. Semua yang dia pakai mulai dari ujung rambut sampai penutup mata kaki memang tidak terlihat mewah tetapi jelas berkualitas dan yang terpenting bermerek.
Iri, itu sudah pasti, lha wong si Abdul memang anak orang ‘gede-an’. “Bapaknya kerja di Pertamina,” begitu ungkap Samsul, teman saya lainnya.
Saat itu, nama Pertamina memang jadi jaminan mutu bila melihat tolak ukur pekerjaan seseorang. Pertamina identik dengan kemakmuran, kira-kira begitulah.
Apalagi Indonesia masih dikenal sebagai produsen minyak dan nama Subroto, si penggemar dasi kupu-kupu, begitu kental dikenal orang dengan organisasi pengekspor minyak dunia (OPEC).
Kala itu, produsen minyak dunia menangguk untung karena harga emas hitam ini melonjak akibat perang Irak-Iran maupun aneksasi Kuwait oleh Saddam Hussein. Indonesia dan karyawan Pertamina juga kecipratan untung dong….
Untung memang untung karena waktu itu, Pertamina mampu berproduksi maksimal dan harga BBM di dalam negeri pun tak perlu naik. Harga bensin premium bertahan Rp150 per liter selama periode 1 Mei 1980 sampai 10 Juli 1991.
Pada 11 Juli 1991, premium pun melonjak menjadi Rp550 per liter tetapi solar justru turun dari Rp525 per liter menjadi Rp300 per liter. Data itu dikumpulkan kawan saya dari Bagian Hukum dan Humas BP Migas.. cek aja sendiri.
Saat saya memakai Honda Astrea Star.. harga bensin sudah naik lagi menjadi Rp700 per liter dan itu bertahan sampai seragam SMA saya coret-coret dengan pilox warna-warni. Pertamina masih meraih untung kabarnya….
Ketika kuliah, saya masih bisa membayar ongkos metromini dan bis tingkat nomor 43 jurusan Cililitan-Tj Priok dengan Rp200 perak karena solar saat itu masih Rp380 per liter. “Mahasiswa bang..” begitu mantra sakti kami buat kenek bis.
Saat mau wisuda, negara memang sempat kacau.. chaos… harga melambung… kerta bekas pun boleh dipakai lagi untuk outline skripsi… harga BBM pun naik pada 5 Mei 1998, solar menjadi Rp600 dan premium melonjak jadi Rp1.200 per liter.
Mahasiswa pun berdemo, jaket almamater berkibar di mana-mana. Pemerintah yang disorot.. bukan Pertamina…. dan bensin pun menciut jadi Rp1.150 per liter pada 1 Oktober 2000.
Tapi kebobrokan Pertamina mulai diungkit orang karena kasus kelangkaan terjadi di mana-mana. Mobil dan motor tambah banyak, jalan tak kunjung mulus, produksi tak pernah mencapai 1 juta barel… Pertamina jadi sasaran sekaligus sapi perahan dagang politik.
Pada 16 Juni 2001, suara mahasiswa terdengar garing meskipun solar naik menjadi Rp900 dan bensin Rp1.450 per liter. Ketika sidang tesis saya selesai di Salemba No.4, demo mahasiswa tak senyaring teriakan ibu-ibu rumah tangga karena bensin jadi Rp1.550 per liter, solar jadi Rp1.150 per liter mulai 17 Januari 2002.
Namun, itu tak seberapa ketika pemerintah melalui hak administered price menetapkan solar menjadi Rp1.890 per liter atau di atas bensin Rp1.810 per liter pada 2 Januari 2003. Alasannya kembali soal produksi dan target Pertamina yang dikutak-katik dengan kas pemerintah di APBN.
Presiden Megawati bertahan dengan harga tersebut.. konon itu untuk dagang politik dan Presiden SBY pun menaikkan harga bensin menjadi Rp2.400 dan solar Rp2.100 per liter mulai 1 Maret 2005.
Selang enam bulan, SBY mendongkrak harga bensin menjadi Rp4.500 dan solar Rp4.300… kelangkaan masih terjadi di mana-mana…..Orang antri bensin seperti antri beras…ironis.
Bagi pengguna Suzuki Smash, harga bensin segitu tak seberapa maklum motor ini identik dengan Si Gesit Irit… kata Basuki (alm) pesaing utama pengiklan Mandra (Honda) ataupun dua Didi Petet dan Dedy Mizwar (Yamaha).
Kepuasan tak pernah lama, pada 24 Mei 2008, SBY lagi-lagi menaikkan bensin jadi Rp6.000 per liter dan solar Rp5.500. Indonesia dan Pertamina kelimpungan dengan harga minyak dunia yang meroket hingga US$140 per barel.
Lucu ya.. katanya Pertamina juragan minyak tetapi saat harga dunia tinggi malah buntung dari pada windfall.. cek aja cadangan devisa kita.. berapa besar kontribusi migas dalam 10 tahun terakhir….???????
Saat tiga bulan terakhir 2008, harga minyak merendah… bensin enggan turun meski akhirnya Sri Mulyani mengumumkan bensin turun gopek jadi Rp5.500 per liter mulai 1 Desember 2008 kala sebagian separatis di Papua mengibarkan Bintang Kejora.
Dua minggu kemudian, tuntutan grass root mengkristal melalui pandangan avonturir politik dan bensin pun turun lagi jadi Rp5.000 per liter. Mat Kasim, penjual bensin eceran, mengaku rugi karena dia tak disubsidi Rp160 per liter seperti yang didapat pengelola SPBU.
Kini memasuki bulan kedua 2009, harga minyak stabil di kisaran US$40 dolar per barel. Bensin sudah turun jadi Rp4.500 per liter. Iklan politik makin marak, tarif angkutan umum tak jua turun.
Benang merahnya.. peran sentral Pertamina seakan tak banyak disoroti orang seperti perhatian masyarakat yang tersedot dengan kasus Ryan, Maia-Dani ataupun Israel-Palestina yang nun jauh di sana.
Padahal, Harian Indonesia Raya pernah sukses menorehkan tinta emas dalam dunia jurnalistik ketika menulis kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972.
Seingat saya, orang cuma mencari sensasi berita dari kasus VLCC yang membuat Laksmana Sukardi (meneg BUMN zaman Megawati) tersandung kejaksaaan.
Tahun ini, kebakaran tangki 24 di Depo Plumpang menjadi perhatian orang apalagi SBY terang-terangan bilang ke media kalau kurang puas dengan kinerja Ari H. Soemarno. Gelagat suksesi Pertamina menguat.
Kini nama Karen Agustiawan menjadi bos baru Pertamina. Tradisi lama pun terputus. Sejak berdiri pada 1968, juragan minyak memang dipimpin laki-laki mulai dari Ibnu Sutowo, Piet Haryono, Joedo Soembono, AR Ramli, Faisal Abda’oe, Soegianto, Martiono Hadianto, Baihaki Hakim, Ariffi Nawawi, Widya Purnama hingga Ari Soemarno.
Harapan saya mungkin sama, terserah ibu Karen dan pak Omar mau pakai cara apa, yang penting bensin itu murah dan mudah didapat di mana-mana. Atau anda punya harapan berbeda?
Salam,
Fahmi Achmad
Iri, itu sudah pasti, lha wong si Abdul memang anak orang ‘gede-an’. “Bapaknya kerja di Pertamina,” begitu ungkap Samsul, teman saya lainnya.
Saat itu, nama Pertamina memang jadi jaminan mutu bila melihat tolak ukur pekerjaan seseorang. Pertamina identik dengan kemakmuran, kira-kira begitulah.
Apalagi Indonesia masih dikenal sebagai produsen minyak dan nama Subroto, si penggemar dasi kupu-kupu, begitu kental dikenal orang dengan organisasi pengekspor minyak dunia (OPEC).
Kala itu, produsen minyak dunia menangguk untung karena harga emas hitam ini melonjak akibat perang Irak-Iran maupun aneksasi Kuwait oleh Saddam Hussein. Indonesia dan karyawan Pertamina juga kecipratan untung dong….
Untung memang untung karena waktu itu, Pertamina mampu berproduksi maksimal dan harga BBM di dalam negeri pun tak perlu naik. Harga bensin premium bertahan Rp150 per liter selama periode 1 Mei 1980 sampai 10 Juli 1991.
Pada 11 Juli 1991, premium pun melonjak menjadi Rp550 per liter tetapi solar justru turun dari Rp525 per liter menjadi Rp300 per liter. Data itu dikumpulkan kawan saya dari Bagian Hukum dan Humas BP Migas.. cek aja sendiri.
Saat saya memakai Honda Astrea Star.. harga bensin sudah naik lagi menjadi Rp700 per liter dan itu bertahan sampai seragam SMA saya coret-coret dengan pilox warna-warni. Pertamina masih meraih untung kabarnya….
Ketika kuliah, saya masih bisa membayar ongkos metromini dan bis tingkat nomor 43 jurusan Cililitan-Tj Priok dengan Rp200 perak karena solar saat itu masih Rp380 per liter. “Mahasiswa bang..” begitu mantra sakti kami buat kenek bis.
Saat mau wisuda, negara memang sempat kacau.. chaos… harga melambung… kerta bekas pun boleh dipakai lagi untuk outline skripsi… harga BBM pun naik pada 5 Mei 1998, solar menjadi Rp600 dan premium melonjak jadi Rp1.200 per liter.
Mahasiswa pun berdemo, jaket almamater berkibar di mana-mana. Pemerintah yang disorot.. bukan Pertamina…. dan bensin pun menciut jadi Rp1.150 per liter pada 1 Oktober 2000.
Tapi kebobrokan Pertamina mulai diungkit orang karena kasus kelangkaan terjadi di mana-mana. Mobil dan motor tambah banyak, jalan tak kunjung mulus, produksi tak pernah mencapai 1 juta barel… Pertamina jadi sasaran sekaligus sapi perahan dagang politik.
Pada 16 Juni 2001, suara mahasiswa terdengar garing meskipun solar naik menjadi Rp900 dan bensin Rp1.450 per liter. Ketika sidang tesis saya selesai di Salemba No.4, demo mahasiswa tak senyaring teriakan ibu-ibu rumah tangga karena bensin jadi Rp1.550 per liter, solar jadi Rp1.150 per liter mulai 17 Januari 2002.
Namun, itu tak seberapa ketika pemerintah melalui hak administered price menetapkan solar menjadi Rp1.890 per liter atau di atas bensin Rp1.810 per liter pada 2 Januari 2003. Alasannya kembali soal produksi dan target Pertamina yang dikutak-katik dengan kas pemerintah di APBN.
Presiden Megawati bertahan dengan harga tersebut.. konon itu untuk dagang politik dan Presiden SBY pun menaikkan harga bensin menjadi Rp2.400 dan solar Rp2.100 per liter mulai 1 Maret 2005.
Selang enam bulan, SBY mendongkrak harga bensin menjadi Rp4.500 dan solar Rp4.300… kelangkaan masih terjadi di mana-mana…..Orang antri bensin seperti antri beras…ironis.
Bagi pengguna Suzuki Smash, harga bensin segitu tak seberapa maklum motor ini identik dengan Si Gesit Irit… kata Basuki (alm) pesaing utama pengiklan Mandra (Honda) ataupun dua Didi Petet dan Dedy Mizwar (Yamaha).
Kepuasan tak pernah lama, pada 24 Mei 2008, SBY lagi-lagi menaikkan bensin jadi Rp6.000 per liter dan solar Rp5.500. Indonesia dan Pertamina kelimpungan dengan harga minyak dunia yang meroket hingga US$140 per barel.
Lucu ya.. katanya Pertamina juragan minyak tetapi saat harga dunia tinggi malah buntung dari pada windfall.. cek aja cadangan devisa kita.. berapa besar kontribusi migas dalam 10 tahun terakhir….???????
Saat tiga bulan terakhir 2008, harga minyak merendah… bensin enggan turun meski akhirnya Sri Mulyani mengumumkan bensin turun gopek jadi Rp5.500 per liter mulai 1 Desember 2008 kala sebagian separatis di Papua mengibarkan Bintang Kejora.
Dua minggu kemudian, tuntutan grass root mengkristal melalui pandangan avonturir politik dan bensin pun turun lagi jadi Rp5.000 per liter. Mat Kasim, penjual bensin eceran, mengaku rugi karena dia tak disubsidi Rp160 per liter seperti yang didapat pengelola SPBU.
Kini memasuki bulan kedua 2009, harga minyak stabil di kisaran US$40 dolar per barel. Bensin sudah turun jadi Rp4.500 per liter. Iklan politik makin marak, tarif angkutan umum tak jua turun.
Benang merahnya.. peran sentral Pertamina seakan tak banyak disoroti orang seperti perhatian masyarakat yang tersedot dengan kasus Ryan, Maia-Dani ataupun Israel-Palestina yang nun jauh di sana.
Padahal, Harian Indonesia Raya pernah sukses menorehkan tinta emas dalam dunia jurnalistik ketika menulis kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972.
Seingat saya, orang cuma mencari sensasi berita dari kasus VLCC yang membuat Laksmana Sukardi (meneg BUMN zaman Megawati) tersandung kejaksaaan.
Tahun ini, kebakaran tangki 24 di Depo Plumpang menjadi perhatian orang apalagi SBY terang-terangan bilang ke media kalau kurang puas dengan kinerja Ari H. Soemarno. Gelagat suksesi Pertamina menguat.
Kini nama Karen Agustiawan menjadi bos baru Pertamina. Tradisi lama pun terputus. Sejak berdiri pada 1968, juragan minyak memang dipimpin laki-laki mulai dari Ibnu Sutowo, Piet Haryono, Joedo Soembono, AR Ramli, Faisal Abda’oe, Soegianto, Martiono Hadianto, Baihaki Hakim, Ariffi Nawawi, Widya Purnama hingga Ari Soemarno.
Harapan saya mungkin sama, terserah ibu Karen dan pak Omar mau pakai cara apa, yang penting bensin itu murah dan mudah didapat di mana-mana. Atau anda punya harapan berbeda?
Salam,
Fahmi Achmad
Comments