Deflasi, Kelas Menengah Hemat Belanja dan Makan Tabungan?

Ekonomi Indonesia diwarnai tren deflasi yang berlanjut untuk bulan keempat. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data Agutus yang tercatat deflasi 0,03% secara bulanan, melanjutkan tren inflasi negatif yang berlangsung sejak Mei 2024.




Deflasi selama empat bulan beruntun ini adalah yang terpanjang setelah semasa krisis finansial Asia yang berlangsung selama tujuh bulan hingga September 1999.

Pemerintah dan Bank Indonesia menyatakan tak khawatir karena deflasi berasal dari harga pangan, yang memang diupayakan terus turun. 

Berbeda dengan deflasi 1999 yang terjadi akibat depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa jenis barang, BPS menjelaskan deflasi tahun ini disebabkan oleh penurunan harga bahan pangan, seperti  bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.

Keyakinan pemerintah dan bank sentral juga berlandaskan kondisi inflasi inti yang tetap positif, yang mencerminkan daya beli masyarakat masih terjaga.

Memang, deflasi secara jangka pendek dapat menjadi berkah bagi masyarakat karena harga barang-barang lebih murah. Namun, dalam jangka panjang, tren penurunan harga menimbulkan kekhawatiran tentang ekonomi yang terperangkap dalam spiral deflasi.

Kondisi deflasi yang berlangsung lama menandakan penurunan permintaan agregat dan pelemahan aktivitas ekonomi, yang menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi investasi, dan meningkatkan pengangguran.

Banyak pihak yang khawatir deflasi yang beruntun menjadi sinyal ekonomi akan sulit tumbuh di atas 5%. Bahkan, kondisi ini dinilai sebagai indikasi adanya resesi atau perlambatan ekonomi dalam beberapa bulan.



Satu hal yang menjadi wacana publik adalah kondisi deflasi ini karena permintaan barang dan jasa yang melemah. Premisnya permintaan melemah karena jumlah kelas menengah yang menyusut.

Mereka  menahan  belanja barang sekunder dan tersier karena harga  kebutuhan  pokok  tidak  bisa  diimbangi  dengan  kenaikan  pendapatan.


BPS pun mengamini bahwa peran kelas menengah dalam menopang ekonomi sangat besar karena menjadi kelompok yang doyan belanja. 

Bagi BPS, deflasi beruntun ini boleh jadi akibat konsumsi sekunder dan tersier atau konsumsi di luar makanan, yang melandai atau terdapat indikasi masyarakat menahan belanja. 



Apakah memang masyarakat menahan diri untuk belanja? Deflasi kali ini mungkin harus diakui bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Ini berbeda dengan fenomena deflasi yang terjadi selama tiga bulan beruntun pada 2020 lalu kala dihantam pandemi Covid-19.

Jika seandainya dikatakan saat ini masyarakat melakukan aksi hemat alias menahan belanja untuk kebutuhan sekunder maupun tersier, seharusnya terjadi peningkatan dana pihak ketiga. 

Kenyataannya, dana pihak ketiga atau simpanan masyarakat di perbankan malah tumbuh melambat pada Mei 2024. Tren itu terjadi setelah momen Pemilu, Puasa, dan Lebaran berakhir. Pada saat yang sama, deflasi juga mulai terjadi pada Mei 2024.

Kondisi tersebut bisa menjadi perhatian pemerintah. Jangan-jangan deflasi yang terjadi karena daya beli masyarakat yang menurun, terutama dari kelas menengah ke bawah.

Dalam  kurun  5  tahun  terakhir,  mengacu  data BPS,  kelas  menengah  Indonesia  berkurang  dari  57,33  juta  jiwa  pada  2019  menjadi  47,85  juta  jiwa  pada  2024.  Jika  dilihat  dari  sisi  proporsi,  kelas  menengah  itu  susut  dari  21,45%  menjadi  17,13%.

Penurunan  kelas  menengah  diikuti  dengan  naiknya  jumlah  masyarakat  yang  masuk  kelompok  menuju  kelas  menengah  dan  kelompok  rentan  miskin. Ini merupakan potret tak ada perbaikan daya beli pada kelompok middle class.

Masalah lain di sektor ketenagakerjaan yaitu mayoritas penduduk bekerja di sektor nonproduktif yang mengalami tren peningkatan secara tahunan. Saat ini ada 36,8 juta orang yang bekerja paruh waktu dan 12,1 juta orang berstatus setengah pengangguran.

Agar kondisi tersebut tidak membebani agenda pembangunan, pemerintah perlu memastikan memberikan dukungan yang cukup bagi kelas menengah, bukan hanya bagi kelompok bawah. 

Menyeimbangkan kebijakan fiskal bisa membantu mitigasi dampak penurunan jumlah kelas menengah dan konsumsi mereka, yang pada akhirnya akan mendukung stabilitas ekonomi secara menyeluruh.

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi