Jargon Berdikari dan Impor Beras
Kegiatan impor pangan lagi-lagi jadi sorotan. Kali ini yang dibincangkan publik adalah kasus dugaan korupsi dalam kegiatan impor beras yang bisa mencoreng kredibilitas pemerintah.
Hal itu bermula dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerima laporan yang menyebut dugaan mark-up impor dilakukan terhadap 2,2 juta ton beras dan kerugian negara terkait dengan biaya demurrage di pelabuhan.
Kondisi tersebut bisa menurunkan penilaian terhadap rapor pemerintah yang sepanjang tahun ini disibukkan dengan dinamika krisis beras sehingga harus melakukan importasi baik untuk memenuhi cadangan maupun bantuan sosial.
Impor, meski acapkali menimbulkan polemik, menjadi andalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri ketika pasokan beras terbatas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras terus menurun. Luas panen pun kian susut, demikian pula produktivitas yang stagnan. Dalam 5 tahun terakhir, luas panen di Tanah Air hanya berkisar 10,2 juta hectare dan angka produksi pun terus turun tersisa 53,9 juta ton.
Lahan memang menjadi salah satu masalah. Penyusutan lahan sawah memang telah menjadi dilema. Satu sisi, pemerintah membutuhkan area yang luas untuk mememnuhi program sejuta rumah guna mengatasi backlog perumahan yang mencapai 10 juta unit.
Di sisi lain, lahan yang luas juga diperlukan untuk menjaga produktivitas sawah dan ketersediaan pangan. Saat ini rata-rata luas tanam hanya 500.000 hektare per bulan.
Setiap bulan Indonesia harus menanam 1 juta hektare untuk menyediakan makanan pokok kepada 280 juta penduduk dengan cukup. Sejauh ini, terdapat 3,9 juta hektare lahan sawah dari total 7,4 juta hectare.
Data tersebut tentu membuat kebijakan melakukan importasi beras adalah hal nyata dan dibutuhkan. Pada 2024 ini, Bulog ditugaskan Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengimpor 3,6 juta ton beras untuk bantuan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP), serta menjaga stok cadangan beras pemerintah (CBP).
Importasi dilakukan bertahap. Sampai dengan Juni 2024, Bulog sudah menjalankan 5 tahap importasi dengan jumlah sekitar 300.000 ton beras dalam tiap tahap.
Artinya, sepanjang semester I/2024 Bulog mengimpor sekitar 1,5 juta ton beras. Dalam prosesnya, bobot impor dipecah dalam 10—12 lot di kisaran 25.000—30.000 ton di setiap tahap dan disebar ke 26 pelabuhan penerima.
Kita mendukung kebijakan importasi beras ini karena memang efektif dalam menjaga pasokan. Akan tetapi, hal yang perlu dicermati adalah mekanisme importasi dan tata kelola pasokan di dalam negeri. Sebab, aktivitas impor memang acapkali dimainkan.
Implementasi lelang terbuka dengan mekanisme yang cukup detail dan ketatnya persyaratan menjadi international best practice dalam menekan penyalahgunaan wewenang dan praktif koruptif. Namun, celah itu masih ada.
Kongkalikong dan ketidakjelasan diduga masih terjadi dalam praktek impor beras terutama dari besaran fee dari perusahaan asing yang ditugaskan melakukan ekspor, dan biaya atau denda demurrage atau batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan.
Idealnya, pemerintah harus lebih cermat dalam mendesain impor dengan menekan risiko dalam konteks penyalahgunaan wewenang maupun manipulasi harga.
Namun, yang paling utama adalah pemerintah harus bisa berdikari untuk tidak terus menerus bergantung pada kegiatan impor pangan semata.
Kita tidak ingin polemic dan kasus impor beras hanya menjadi ‘penutup’ perhatian public terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam kebijakan pertanian dan perdagangan pangan dalam negeri.
Pembenahan implementasi kebijakan penyediaan pangan, terutama ketersediaan lahan sawah, haruslah menjadi perhatian utama pemerintah.
Tentu persoalan tidak hanya di ketersediaan lahan. Pasokan benih dan pupuk yang terjangkau petani adalah hal mutlak agar kita tidak tertinggal dari Thailand dan Vietnam dari sisi pangan.
Jangan sampai, negara yang begitu luas ini tak lagi mampu memproduksi beras untuk makan 280 juta penduduknya.
EDITORIAL : Dilema Berdikari dan Impor Beras (bisnisindonesia.id)
Comments