Utak-atik Besaran Uang Pensiun PNS dan Karyawan Swasta
Sudah tua masih saja bekerja, kapan pensiunnya? Begitu mungkin kira-kira ungkapan iba yang dilontarkan seseorang ketika melihat ada orang sepuh yang masih bekerja.
Kapan pensiun? Pertanyaan yang harusnya mudah dijawab dengan sederhana. Tak semua orang siap untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pensiun atau tidak bekerja lagi karena masa tugasnya telah selesai, memang bukanlah hal yang sederhana. Banyak hal terkait pensiun yang menjadi perhatian orang banyak. Persoalan batas waktu dan seberapa besar manfaat yang diterima saat pensiun pun merupakan hal yang pelik.
Beberapa waktu lalu, sempat ramai kontroversi dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang hanya bisa dicairkan ketika pekerja mencapai usia pensiun, yaitu 56 tahun. Perdebatan dan demonstrasi akhirnya membuat aturan JHT pun diubah.
Namun, isu pension tak hanya soal JHT. Indonesia memerlukan reformasi sistem pensiun publik dan swasta yang diharapkan memberikan keberimbangan manfaat kepada pemerintah dan pemberi kerja di satu sisi, serta pekerja dan pegawai di sisi lainnya.
Di sistem pensiun publik, pemerintah dalam beberapa tahun ini mengutak-atik skema baru pembayaran jaminan masa tua pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN). Alasannya adalah untuk mengurangi beban yang dikeluarkan pemerintah.
Sebab, selama ini uang pensiun PNS lebih banyak dibayarkan oleh APBN ketimbang dari hasil iuran 4,75% yang dipotong PT Taspen dari gaji pokok para abdi negara setiap bulannya.
Program pensiun abdi negara dilaksanakan dengan skema manfaat pasti (pay as you go). Dalam skema ini pendanaan program pensiun dilakukan langsung oleh pemerintah dan pembayaran diterapkan secara bersamaan saat pegawai masuk masa pensiun.
Artinya, seluruh pembayaran gaji PNS dibayarkan secara langsung dari APBN setelah pegawai memasuki masa pensiun. Namun, sistem ini dinilai tidak efektif karena anggaran negara membengkak.
Saat ini, APBN harus dialokasikan sekitar Rp120 triliun setiap tahunnya untuk membayar tunjangan pensiunan PNS. Saat ini ada lebih dari 3,1 juta orang penerima tunjangan pensiunan PNS, TNI dan Polri.
Dalam rancangan pensiun yang baru, pemerintah mengusung skema iuran pasti (fully funded). Implementasi skema ini sepenuhnya berasal dari iuran yang dilakukan antara pemerintah dengan pegawai itu sendiri. Iuran pekerja diambil dari persentase tertentu gaji utuh (take home pay).
Skema ini memungkinkan pensiunan PNS mendapatkan manfaat pensiun yang jumlahnya relatif besar. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo bahkan menyebutkan pensiunan PNS dengan skema fully funded bisa mengantongi lebih dari Rp1 miliar.
Inilah yang membuat pekerjaan sebagai abdi negara begitu terjamin. Banyak orang sikut-sikutan menjadi PNS. Pensiunnya begitu nyaman.
Saat ini, pemerintah pun mencoba untuk mengurangi jumlah ASN. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) memperlihatkan jumlah PNS per Desember 2021 sebanyak 3,99 juta, atau terkoreksi 4,1% dibandingkan dengan 2020 yang sebanyak 4,17 juta orang.
Koreksi jumlah itu karena PNS yang pensiun setiap tahun lebih banyak dibandingkan dengan penerimaan CPNS yang diselenggarakan pada tahun tersebut.
Seiring dengan modernisasi birokrasi, pemerintah juga berupaya menerapkan komposisi jumlah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) lebih besar dibandingkan dengan jumlah PNS. Rekrutmen PPPK dikebut. Hingga Desember 2021, total PPPK berjumlah 50.553 orang.
Dengan jumlah abdi negara yang optimal, proyeksi beban anggaran pemerintah untuk kebutuhan pensiun PNS pun akan lebih terkendali.
Pengendalian anggaran juga menjadi perhatian dalam penatalaksanaan program pensiun di sektor swasta.
Reformasi dan penyesuaian sistem pensiun sektor diperlukan karena bonus demografi di Indonesia diperkirakan berakhir pada 2038. Pada 2045, struktur demografi akan bergeser di mana jumlah penduduk non-produktif (usia <15 tahun dan >64tahun) akan meningkat secara substantial.
Menurut laporan IFG Progress, kondisi tersebut tentu berkorelasi dengan beban pembiayaan aging-population yang akan menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia.
DANA HARI TUA
Implementasi skema pensiun di sektor swasta dilakukan secara wajib oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK) dan dana pensiun yang didirikan asuransi jiwa dan bank.
Ada manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) yang akan diterima oleh peserta BPJSTK. Setelah didemo sana-sini, aturan pencairan dana JHT kini lebih fleksibel dan relatif tak menyulitkan pekerja peserta BPJSTK.
Untuk manfaat JP— iurannya memang dibayarkan penuh oleh pemerintah—tak bisa begitu saja diterima oleh pekerja saat mencapai usia pensiun.
Rata-rata usia pensiun pekerja swasta memang ketika mencapai umur 55 tahun. Namun, untuk pencairan manfaat pensiun, aturan batasan usia disesuaikan.
Mulai Januari 2022, batas usia tenaga kerja untuk mulai mengambil manfaat pensiun berubah menjadi 58 tahun. Batas usia ini bertambah satu tahun dari mulanya 57 tahun yang berlaku sejak Januari 2019.
Perubahan usia pensiun dari 57 tahun menjadi 58 tahun merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun.
Pasal 15 beleid yang diundangkan pada 30 Juni 2015 tersebut menyebutkan bahwa usia pensiun ditetapkan di usia 56 tahun untuk pertama kali pada saat aturan diterapkan.
Usia pensiun lalu berubah menjadi 57 tahun per Januari 2019 dan kemudian bertambah 1 tahun setiap 3 tahun. Artinya, usia pensiun berubah menjadi 58 tahun pada 2022, atau 3 tahun setelah 2019. Oleh karenanya, mulai 1 Januari 2022 usia pensiun tenaga kerja berubah menjadi 58 tahun.
Ketika peserta BPJSTK telah memasuki usia pensiun tetapi peserta tetap dipekerjakan, peserta dapat memilih untuk menerima manfaat pensiun pada saat mencapai usia pensiun atau pada saat berhenti bekerja.
Pekerja yang memasuki usia pensiun dapat berhenti bekerja paling lama 3 tahun setelah usia pensiun. Ayat (3) Pasal 15 PP No. 45/2015 juga secara spesifik menyebutkan bahwa usia pensiun akan terus disesuaikan setiap tiga tahun berikutnya sampai batas 65 tahun. Hal ini berarti usia pensiun akan berubah menjadi 59 tahun pada 2025.
Batas usia pencairan manfaat pensiun itu bisa menjadi polemik jika tak dikomunikasikan dengan baik. Jangan sampai batas usia pensiun menjadi isu demonstrasi para pekerja.
Di seluruh dunia, usia pensiun tidak selalu sama. Di Singapura, usia pensiun adalah 62 tahun. Akan tetapi, pada 2019 lalu, pemerintah Singapura menerima rekomendasi dari Kelompok Kerja Tripartit untuk menaikkan usia pensiun menjadi 65 tahun.
Adapun, tujuannya yakni untuk mendukung pekerja yang ingin bekerja lebih lama dan meningkatkan tabungan pensiun mereka.
Korea Selatan pun memperpanjang usia pensiun dari 60 tahun menjadi 65 tahun. Negeri Ginseng ini tengah menghadapi masalah karena angka kelahiran yang terus menurun. Penduduk usia kerja juga mulai menurun lebih awal sejak 2018.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa di masa depan, pajak yang diterima pemerintah Korea Selatan dari pekerja akan semakin sedikit, sementara pensiunan lanjut usia yang membutuhkan bantuan keuangan semakin banyak. Perpanjangan usia pensiun dipandang sebagai salah satu solusi yang memungkinkan.
Di Jepang, melansir laman National Pension System Japan, usia pensiun di Jepang adalah 65 tahun. Akan tetapi, masyarakat Jepang bisa memilih untuk menerima tunjangan pensiun mulai dari usia 60 tahun.
Sama seperti Korea Selatan, Jepang juga dihadapkan dengan permasalahan penurunan angka kelahiran dan kekurangan tenaga kerja. Di masa depan, pemerintah Jepang berencana untuk menaikkan usia pensiun menjadi 70 tahun. Rencana tersebut tertuang dalam undang-undang dan telah disetujui kabinet pada April 2021.
Di China lain lagi. Usia pensiun wajib China adalah 60 untuk pria dan 55 untuk wanita – atau 50 tahun untuk pekerja wanita kerah biru.
Pemerintah China telah mengumumkan rencana untuk menunda usia pensiun guna mengimbangi krisis demografis. Akan tetapi bagi banyak penduduk pedesaan, termasuk pekerja migran di kota-kota, usia pensiun tetap menjadi fantasi, karena kurangnya tabungan dan cakupan pensiun yang terbatas.
Kondisi berbeda terjadi di Prancis. Presiden Emmanuel Macron yang baru terpilih untuk periode keduanya, sejak awal ingin mengubah batas umur pekerja yang memasuki masa pensiun yaitu dari 62 tahun menjadi menjadi 64 tahun.
Masalah ini juga sempat memicu pekerja kerah biru di Prancis melakukan mogok pada awal 2020. Bagi mereka, pensiun harusnya lebih cepat. Kondisi yang dihadapi Presiden Macron nyaris serupa dengan pendahulunya yaitu Presiden Sarkozy.
Prancis seakan ingin seperti Jerman, Belanda dan Finlandia yang menerapkan batas usia pensiun pada 67 tahun. Tak mudah memang.
Bagi Indonesia, pelajaran dari penerapan batas usia pensiun di negara-negara lain tak bisa disepelekan. Reformasi dan penyesuaian kebijakan harus terus dilakukan secara lincah. Jangan sampai bonus demografi habis dan kita hanya bisa melontarkan kasihan kepada pekerja sepuh.
(terbit di Bisnis Indonesia, please visit www.bisnis.com)
Comments