Konsolidasi Perbankan dan Eksistensi Bank Digital
Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.
Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.
Industri perbankan nasional saat ini menghadapi ‘demam’ transformasi menjadi layanan digital. Semua bank berlomba-lomba membuat dan memperkuat produk dan layanan digital. Kondisi pandemi Covid-19 merupakan katalisator percepatan transformasi digital.
Layanan digital membuat kompetisi antarbank semakin menarik. Banyak bank-bank besar yang ingin berubah wajah menjadi bank digital. Apa daya, peran konvensional di layanan offline begitu melekat. Pilihan rasional bagi bank besar adalah memiliki bank lain yang fokus untuk layanan digital.
Bank kecil jika memiliki postur usaha yang sehat dan menjanjikan, menjadi incaran akuisisi oleh bank besar, korporasi, konglomerat, konglomerat hingga perusahaan rintisan alias startup.
Kabar terbaru adalah rencana PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) untuk mengakuisisi salah satu bank kecil sebagai upaya untuk ikut merasakan pasar perbankan digital yang legit. Langkah BNI ini menyusul aksi korporasi yang sebelumnya sudah dilakukan bank-bank lain
Profil dan postur bank digital yang unggul dari sisi teknologi dan memangkas banyak biaya serta memiliki ekosistem layanan keuangan yang mudah dijangkau masyarakat, membuat keberadaan bank masa kini tersebut menepikan bank konvensional atau bank tradisional.
Dampaknya, aksi korporasi berupa akuisisi dan merger, caplok-mencaplok bank di Indonesia menjadi marak guna mengejar predikat bank digital dan tak sekadar meraih iming-iming marjin bunga bersih dari fungsi intermediasi.
Selama ini, industri perbankan kita memang masih menarik bagi investor. Dengan jumlah bank kecil yang begitu banyak dan posisi marjin bunga kredit yang masih di atas 5%, Indonesia jauh lebih menarik ketimbang negara lain di kawasan Asean. Negara-negara tetangga kita cuma memiliki 4-5 bank untuk melayani masyarakatnya.
Hampir setiap tahun dalam 15 tahun terakhir, terjadi akuisisi dan merger bank. Jumlah bank kita saat ini memang banyak, masih di atas 100 bank.
Meski bank-bank telah diarahkan untuk konsolidasi mandiri—atas dasar kebutuhan sendiri dan terdesak modal yang cekak—jumlahnya tak juga menyusut. Padahal, pangsa pasar bank didominasi oleh 10-15 bank saja.
Ke depan, kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di bank digital. Bisa jadi tak sampai 10 bank yang menguasai pangsa pasar bank era modern ini.
Namun, kita juga mafhum bahwa kata ‘konsolidasi’ begitu sensitif bagi para bankir. Konsolidasi selalu diartikan sebagai pengurangan jumlah bank, dan salah satu cara yang halus adalah dengan ‘paksaan’ aksi merger dan akuisisi.
Jangankan terhadap bank kecil, konsolidasi bank besar pun sulit. Kita tentu masih ingat betapa sulitnya mewacanakan akuisisi dan merger antarbank BUMN karena resistensi dari banyak pihak dan kendala yang dihadapinya.
Harian ini mendukung upaya pemerintah dan regulator untuk terus mendorong konsolidasi agar—tidak hanya mengurangi jumlah bank—juga membuat industri keuangan nasional semakin mantap dan kokoh.
Karena itu kita mengapresiasi langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menerbitkan regulasi perbankan seperti POJK Nomor 12 /POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Aturan ini mengatur reklasifikasi bank dan modal minimum yang semakin besar.
Berdasarkan hasil penelitian OJK, bank dapat beroperasi secara efisien, menghasilkan laba, serta memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional jika modal inti yang dimiliki berada pada rentang hingga Rp10 triliun.
Bank dengan modal sekitar Rp3 triliun baru bisa sekadar menghasilkan laba tetapi belum berkontribusi optimal bagi perekonomian nasional.
Kita berharap dengan modal yang kokoh, bank mampu bersaing menjalankan fungsi intermediasi yang optimal sekaligus dapat menghadapi guncangan yang timbul dari tekanan sektor keuangan dan ekonomi.
Tentu tak ada yang menginginkan jumlah bank nasional terpangkas karena demam krisis keuangan.
Please visit and read https://bisnisindonesia.id/
Comments