Bankir Indonesia Pilih Pertebal Pencadangan
Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia.
Please visit and read https://bisnisindonesia.id/ untuk mendapatkan informasi mendalam, terkini dan terpercaya.
Keandalan para bankir saat ini terus diuji dalam menjaga kondisi bank tetap prima.
Salah satu langkah yang ditempuh para bankir yakni meningkatkan cadangan kerugian penurunan agar neraca keuangannya tak jebol terimbas usaha yang lesu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan nilai cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) industri perbankan pada kuartal I/2021 meningkat 21,87% year on year (yoy) menjadi Rp330,5 triliun.
Strategi para bankir tersebut boleh jadi dinilai konservatif. Hal ini karena kenaikan nilai pencadangan menyebabkan capaian laba bersih sejumlah bank tergerus, padahal laba sebelum pencadangan mereka sejatinya meningkat cukup pesat.
Meskipun demikian, kondisi industri perbankan menjadi lebih stabil seiring dengan bantalan cadangan kerugian yang lebih besar.
Dengan strategi yang demikian, pemupukan pencadangan bakal terus dilanjutkan, meskipun kondisi ekonomi pada tahun ini mulai membaik seiring dengan upaya pemerintah menggenjot program vaksinasi Covid-19 dan stimulus ekonomi.
Optimisme akan ekonomi yang mulai pulih secara perlahan seakan belum memberikan keyakinan dan mendorong kepercayaan diri para bankir untuk lebih agresif.
Data OJK—meskipun terlambat 1 bulan—memperlihatkan pertumbuhan kredit hingga April 2021 masih terkontraksi sebesar 2,28 persen (yoy).
Namun, kredit konsumsi mulai tumbuh positif 0,31 persen (yoy) sejalan dengan meningkatnya proporsi pengeluaran konsumsi.
Rasio kredit bermasalah pun merangkak naik dari 2,77% pada kuartal pertama tahun lalu menjadi 3,17% per Maret 2021.
Padahal, tingkat suku bunga saat ini sudah relatif rendah. Sejak Juni 2019 hingga Februari 2021 Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 250 basis poin, dari 6% menjadi 3,5%.
Tingkat suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah bank sentral tersebut ternyata tidak segera diikuti oleh turunnya suku bunga kredit perbankan. Transmisi bunga rendah masih lambat.
Sebagian besar bank memang sudah menurunkan suku bunga kredit tetapi tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga acuan.
Hingga April 2021, suku bunga kredit modal kerja turun menjadi 9,08 persen, bunga kredit konsumsi menjadi 10,87 persen dan suku bunga kredit investasi di posisi 8,68 persen. Ruang untuk bunga kredit turun masih terbuka lebar.
Anomali suku bunga juga terlihat ketika kredit yang tumbuh lambat ternyata berbanding terbalik dengan kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dana di bank.
Dalam 3 tahun terakhir, dana pihak ketiga perbankan tumbuh dengan sangat baik, di atas dua digit.
Kita memaklumi kenyataan bahwa suku bunga bukan satu-satunya faktor penentu kredit perbankan untuk bertumbuh. Sebab, pertumbuhan kredit sangat ditentukan oleh permintaan masyarakat.
Permintaan atas kredit atau pembiayaan akan kembali tinggi apabila terjadi peningkatan mobilitas masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan.
Hal tersebut didukung upaya vaksinasi yang semakin meluas untuk meningkatkan imunitas dan kesehatan masyarakat yang terjaga baik.
Tentu para bankir punya strategi tersendiri dalam memacu fungsi intermediasi. Bank pun tidak perlu dipaksa menyalurkan kredit. Mereka akan kembali menyalurkan kredit ketika ada permintaan dan risiko kredit diyakini dapat dikelola dengan prudent.
Memaksakan bank menyalurkan kredit justru bisa berdampak negatif meningkatkan risiko kegagalan bank.
Karena itu, kita mendukung upaya bank untuk terus memupuk cadangan penurunan kerugian nilai sebagai bentuk sikap kehati-hatian. Upaya tersebut ditempuh guna memastikan stabilitas perbankan tetap terjaga di tengah restrukturisasi kredit yang masih berlanjut.
Dengan industri perbankan yang sehat dan stabil, kita berharap dukungan dana-dana kredit bank dapat mengalir dengan baik ke masyarakat dan mendorong roda ekonomi nasional sehingga dapat kembali berputar kencang.
(Please visit www.bisnisindonesia.id)
Comments