Menanti Suku Bunga Kembali Murah
Sejak penggunaan BI 7-Day Repo Rate sebagai suku bunga acuan berlaku mulai 19 Agustus 2016, tercatat hanya tiga kali posisinya berubah menjadi lebih rendah.
Tepat setahun lalu, pada 22 September 2016, Bank Indonesia memangkas BI 7-DRR sebesar 25 basis poin dari 5,25% menjadi 5,00%. Selang sebulan kemudian, acuan bunga ini pun kembali terpangkas 25 bps menjadi 4,75%.
Setelah itu, posisi 4,75% bertahan hingga Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2017 memutuskan untuk menurunkan BI 7-DRR menjadi 4,50%.
Bank sentral juga memotong suku bunga deposit facility 25 bps menjadi 3,75% dan lending facility turun 25 bps menjadi 5,25%, berlaku efektif sejak 23 Agustus 2017.
Hari ini, 22 September 2017, rencananya BI kembali menggelar RDG bulanan. Apakah suku bunga acuan akan kembali diturunkan? Apakah penurunan bulan direspons positif? Apakah bank-bank telah menurunkan bunganya?
Pada Agustus lalu, keputusan bank sentral memangkas suku bunga acuan tentu tidak dilakukan dengan sembarang. Perlu ada kajian yang komprehensif sebelum memutuskan kebijakan.
“Sebelum bunga turun, selalu ada persiapan-persiapan agar bisa diterima dengan baik oleh pelaku pasar finansial,” ungkap Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dalam Focus Group Discussion dengan wartawan, 15-17 September lalu.
Bagi bank sentral, kondisi perekonomian nasional pada dua kuartal awal tahun ini belumlah tumbuh meyakinkan. Istilah yang digunakan BI adalah ‘konsolidasi perekonomian masih berlanjut’.
“Belum sesuai dengan harapan, belum terlalu baik, ekonomi masih konsolidasi, meski kondisi eksternal seperti di China dan Eropa membaik,” kata Mirza.
Sejumlah indikator ekonomi nasional kian meyakinkan bagi BI, seperti belanja modal pemerintah yang masih terbatas dan penerimaan pajak yang harusnya juga mencatatkan hasil yang lebih baik.
Di tengah operasi fiskal yang minim eksposur, bank sentral juga melihat konsumsi rumah tangga kelas atas dan korporasi masih dipenuhi ketidakpastian. Dampaknya, penyaluran kredit bank baru tercatat tumbuh 2% pada Agustus dari target tahunan 10%—12%. “Karena itu kami pangkas target kredit jadi 8%—10%,” ujar Mirza.
Sementara itu, kondisi eksternal juga menjadi bahan kajian BI sebelum mengambil kebijakan moneter. “Risiko pertumbuhan domestik bruto AS lebih rendah karena tertekan konsumsi,” papar Mirza.
Risiko kenaikan Fed Fund Rate dan balance sheet reduction— rencana The Fed untuk mengurangi portofolionya dengan tidak memperpanjang kepemilikan surat-surat berharga yang jatuh tempo— telah dinilai price in bagi pelaku pasar.
Kondisi di AS jelas memberikan kepercayaan diri tersendiri kepada negara-negara yang ekonominya tengah tumbuh (emerging market) untuk memberikan respons stimulus ke ekonomi nasionalnya masing-masing.
Secara teori, respons stimulus yang diberikan ketika ekonomi lagi dalam kondisi ‘soft’, dapat dilakukan asalkan posisi inflasi dan neraca pembayaran dalam kondisi terjaga dengan baik.
Kali ini, inflasi nasional tercatat di bawah target 4% plus minus 1%. Inflasi indeks harga konsumen pada Agustus tercatat 2,50% (ytd) dan 3,82% (tahunan).
“Mungkin tinggal Desember saja yang posisi bulanannya memang biasanya lebih tinggi,” ungkap Mirza.
Adapun neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada saat yang sama mencatat surplus US$0,7 miliar ditopang oleh surplus transaksi modal dan keuangan sebesar US$5,9 miliar melebihi defisit neraca transaksi berjalan sebesar US$5,0 miliar (1,96% PDB).
“Inflasi dan NPI sehat di tengah ekonomi soft, maka kami beri respons berupa stimulus,” kata Mirza, tegas.
Lalu bagaimana dengan tingkat suku bunga riil Indonesia, apakah masih menarik?
Dari sisi kebijakan suku bunga (policy rate), posisi bunga acuan 4,7% jelas masih positif di atas level inflasi yang di bawah 4%. Bandingkan pula dengan bunga deposito 1 bulan yang masih berkisar di atas 5%, begitu pula dengan bunga penjaminan LPS yang 6% dan yield obligasi 10 tahun yang 6,8%.
“Walaupun tidak harus positif, fund manager selalu maunya melihat selisih suku bunga positif di emerging market,” tutur Mirza.
Posisi BI 7-DRR yang turun juga diikuti dengan suku bunga kurva operasi moneter yang dalam lelangnya terpangkas 25 basis poin dari 5,25% menjadi 5,00%. Adapun di pasar Jakarta Interbank Offered Rate (Jibor), posisi lelang 1 bulan juga turun 46 bps dari 5,79% menjadi 5,33%.
“Ini yang bisa dikatakan efek penurunan BI 7-DRR sesuai dengan harapan kami. Suku bunga operasi moneter semakin tipis, spread-nya semakin dekat dengan suku bunga pasar atau Jisdor,” kata Mirza, yakin.
Jika pada 31 Juli 2017, spread bunga operasi moneter dengan Jisdor masih 124 bps, maka pada 11 September 2017, selisih bunganya tinggal 34 bps.
Bagaimana transmisi penurunan BI 7-DRR terhadap tingkat suku bunga simpanan dan bunga pinjaman perbankan?
Bank Indonesia melihat bunga simpanan sebenarnya telah turun 145 bps dari Januari 2016 hingga Juli 2017. Adapun bunga kredit tercatat juga telah turun 110 basis poin di bank-bank BUKU I dan II sedangkan di BUKU III telah terpangkas 128 basis poin.
Bagi perbankan, transmisi penurunan suku bunga tetap berjalan, meski harus diakui tak secepat harapan publik.
Direktur Keuangan dan Treasuri PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Iman Nugroho Soeko menyatakan pihaknya akan menurunkan suku bunga simpanan berjangka, terutama untuk yang special rate. Nasabah-nasabah penyimpan deposito di emiten bersandi BBTN tersebut tak akan lagi mendapatkan skema bunga khusus mulai September dan Oktober.
Sementara itu, bagi Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja, penurunan suku bunga adalah keniscayaan yang cukup positif untuk memacu daya saing.
Akan tetapi, kebijakan bunga tersebut dinilai tidak serta merta akan berdampak signifikan dalam memacu permintaan kredit.
Masalahnya, kata Jahja, permintaan kredit yang minim juga berhubungan dengan daya beli yang masih lemah.
“Lemahnya daya beli membuat produksi dan penjualan berkurang sehingga modal kerja tidak perlu ditambah. Secara umum perlu bunga turun untuk meningkatkan daya saing terhadap produsen luar negeri yang bunganya murah, tetapi kalau untuk mendorong kredit mungkin belum bisa saat daya beli melemah terutama di strata bawah,” paparnya.
Kalau sudah demikian, persoalan suku bunga dan respons moneter memang tidak hanya ditanggung bank sentral, semua pihak termasuk pemerintah juga harus menjadi katalisator terbentuknya rezim bunga murah yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
(Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia, Jumat 22 September 2017) http://koran.bisnis.com/read/20170922/446/691917/bi-7-drr-menanti-bunga-kembali-rendah
NOTE:
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20 dan 22 September 2017 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 4,50% menjadi 4,25%, dengan suku bunga Deposit Facility turun 25 bps menjadi 3,50% dan Lending Facility turun 25 bps menjadi 5,00%, berlaku efektif sejak 25 September 2017.
http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_197317.aspx
Tepat setahun lalu, pada 22 September 2016, Bank Indonesia memangkas BI 7-DRR sebesar 25 basis poin dari 5,25% menjadi 5,00%. Selang sebulan kemudian, acuan bunga ini pun kembali terpangkas 25 bps menjadi 4,75%.
Setelah itu, posisi 4,75% bertahan hingga Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2017 memutuskan untuk menurunkan BI 7-DRR menjadi 4,50%.
Bank sentral juga memotong suku bunga deposit facility 25 bps menjadi 3,75% dan lending facility turun 25 bps menjadi 5,25%, berlaku efektif sejak 23 Agustus 2017.
Hari ini, 22 September 2017, rencananya BI kembali menggelar RDG bulanan. Apakah suku bunga acuan akan kembali diturunkan? Apakah penurunan bulan direspons positif? Apakah bank-bank telah menurunkan bunganya?
Pada Agustus lalu, keputusan bank sentral memangkas suku bunga acuan tentu tidak dilakukan dengan sembarang. Perlu ada kajian yang komprehensif sebelum memutuskan kebijakan.
“Sebelum bunga turun, selalu ada persiapan-persiapan agar bisa diterima dengan baik oleh pelaku pasar finansial,” ungkap Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dalam Focus Group Discussion dengan wartawan, 15-17 September lalu.
Bagi bank sentral, kondisi perekonomian nasional pada dua kuartal awal tahun ini belumlah tumbuh meyakinkan. Istilah yang digunakan BI adalah ‘konsolidasi perekonomian masih berlanjut’.
“Belum sesuai dengan harapan, belum terlalu baik, ekonomi masih konsolidasi, meski kondisi eksternal seperti di China dan Eropa membaik,” kata Mirza.
Sejumlah indikator ekonomi nasional kian meyakinkan bagi BI, seperti belanja modal pemerintah yang masih terbatas dan penerimaan pajak yang harusnya juga mencatatkan hasil yang lebih baik.
Di tengah operasi fiskal yang minim eksposur, bank sentral juga melihat konsumsi rumah tangga kelas atas dan korporasi masih dipenuhi ketidakpastian. Dampaknya, penyaluran kredit bank baru tercatat tumbuh 2% pada Agustus dari target tahunan 10%—12%. “Karena itu kami pangkas target kredit jadi 8%—10%,” ujar Mirza.
Sementara itu, kondisi eksternal juga menjadi bahan kajian BI sebelum mengambil kebijakan moneter. “Risiko pertumbuhan domestik bruto AS lebih rendah karena tertekan konsumsi,” papar Mirza.
Risiko kenaikan Fed Fund Rate dan balance sheet reduction— rencana The Fed untuk mengurangi portofolionya dengan tidak memperpanjang kepemilikan surat-surat berharga yang jatuh tempo— telah dinilai price in bagi pelaku pasar.
Kondisi di AS jelas memberikan kepercayaan diri tersendiri kepada negara-negara yang ekonominya tengah tumbuh (emerging market) untuk memberikan respons stimulus ke ekonomi nasionalnya masing-masing.
Secara teori, respons stimulus yang diberikan ketika ekonomi lagi dalam kondisi ‘soft’, dapat dilakukan asalkan posisi inflasi dan neraca pembayaran dalam kondisi terjaga dengan baik.
Kali ini, inflasi nasional tercatat di bawah target 4% plus minus 1%. Inflasi indeks harga konsumen pada Agustus tercatat 2,50% (ytd) dan 3,82% (tahunan).
“Mungkin tinggal Desember saja yang posisi bulanannya memang biasanya lebih tinggi,” ungkap Mirza.
Adapun neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada saat yang sama mencatat surplus US$0,7 miliar ditopang oleh surplus transaksi modal dan keuangan sebesar US$5,9 miliar melebihi defisit neraca transaksi berjalan sebesar US$5,0 miliar (1,96% PDB).
“Inflasi dan NPI sehat di tengah ekonomi soft, maka kami beri respons berupa stimulus,” kata Mirza, tegas.
Lalu bagaimana dengan tingkat suku bunga riil Indonesia, apakah masih menarik?
Dari sisi kebijakan suku bunga (policy rate), posisi bunga acuan 4,7% jelas masih positif di atas level inflasi yang di bawah 4%. Bandingkan pula dengan bunga deposito 1 bulan yang masih berkisar di atas 5%, begitu pula dengan bunga penjaminan LPS yang 6% dan yield obligasi 10 tahun yang 6,8%.
“Walaupun tidak harus positif, fund manager selalu maunya melihat selisih suku bunga positif di emerging market,” tutur Mirza.
Posisi BI 7-DRR yang turun juga diikuti dengan suku bunga kurva operasi moneter yang dalam lelangnya terpangkas 25 basis poin dari 5,25% menjadi 5,00%. Adapun di pasar Jakarta Interbank Offered Rate (Jibor), posisi lelang 1 bulan juga turun 46 bps dari 5,79% menjadi 5,33%.
“Ini yang bisa dikatakan efek penurunan BI 7-DRR sesuai dengan harapan kami. Suku bunga operasi moneter semakin tipis, spread-nya semakin dekat dengan suku bunga pasar atau Jisdor,” kata Mirza, yakin.
Jika pada 31 Juli 2017, spread bunga operasi moneter dengan Jisdor masih 124 bps, maka pada 11 September 2017, selisih bunganya tinggal 34 bps.
Bagaimana transmisi penurunan BI 7-DRR terhadap tingkat suku bunga simpanan dan bunga pinjaman perbankan?
Bank Indonesia melihat bunga simpanan sebenarnya telah turun 145 bps dari Januari 2016 hingga Juli 2017. Adapun bunga kredit tercatat juga telah turun 110 basis poin di bank-bank BUKU I dan II sedangkan di BUKU III telah terpangkas 128 basis poin.
Bagi perbankan, transmisi penurunan suku bunga tetap berjalan, meski harus diakui tak secepat harapan publik.
Direktur Keuangan dan Treasuri PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Iman Nugroho Soeko menyatakan pihaknya akan menurunkan suku bunga simpanan berjangka, terutama untuk yang special rate. Nasabah-nasabah penyimpan deposito di emiten bersandi BBTN tersebut tak akan lagi mendapatkan skema bunga khusus mulai September dan Oktober.
Sementara itu, bagi Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja, penurunan suku bunga adalah keniscayaan yang cukup positif untuk memacu daya saing.
Akan tetapi, kebijakan bunga tersebut dinilai tidak serta merta akan berdampak signifikan dalam memacu permintaan kredit.
Masalahnya, kata Jahja, permintaan kredit yang minim juga berhubungan dengan daya beli yang masih lemah.
“Lemahnya daya beli membuat produksi dan penjualan berkurang sehingga modal kerja tidak perlu ditambah. Secara umum perlu bunga turun untuk meningkatkan daya saing terhadap produsen luar negeri yang bunganya murah, tetapi kalau untuk mendorong kredit mungkin belum bisa saat daya beli melemah terutama di strata bawah,” paparnya.
Kalau sudah demikian, persoalan suku bunga dan respons moneter memang tidak hanya ditanggung bank sentral, semua pihak termasuk pemerintah juga harus menjadi katalisator terbentuknya rezim bunga murah yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
(Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia, Jumat 22 September 2017) http://koran.bisnis.com/read/20170922/446/691917/bi-7-drr-menanti-bunga-kembali-rendah
NOTE:
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20 dan 22 September 2017 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 4,50% menjadi 4,25%, dengan suku bunga Deposit Facility turun 25 bps menjadi 3,50% dan Lending Facility turun 25 bps menjadi 5,00%, berlaku efektif sejak 25 September 2017.
http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_197317.aspx
Comments