Jangan Sampai Ketinggalan Zaman
Bel peringatan itu kembali berbunyi. Kali ini, bunyi nyaring berasal dari berita penutupan toko milik beberapa peritel besar yang menjadi bahan pembicaraan para pelaku bisnis, terutama di sektor ritel dan industri terkait.
Di satu sisi, penutupan toko boleh jadi sebagai strategi bisnis perusahaan ritel untuk mencari lokasi-lokasi baru yang prospektif untuk ekspansi usaha. Sebaliknya, penutupan toko bisa dikarenakan kinerja tak sesuai harapan.
Saat ini banyak toko dan gerai penjualan yang berada di lokasi yang semula dianggap prospektif, belakangan mengalami kemunduran karena sejumlah alasan. Keputusan bisnis pun dibuat, daripada merugi, lebih baik memang ditutup.
Sejumlah faktor yang disinyalir menjadi sebabnya yakni turunnya daya beli, konsumen yang menahan belanja, atau persaingan ketat di sesama peritel, khususnya setelah hadirnya platform ritel online, dan lainnya.
Bagi sebagian pihak, inilah sebuah keniscayaan di era digital. Kenyataan yang harus dihadapi para pebisnis kini bukanlah risiko konvensional. Iklim usaha memang masih mengikuti kemauan konsumen, tetapi dengan pola, cara, produk yang jelas berbeda jauh.
Konsumen milenial, seperti dikatakan banyak orang, merupakan generasi yang begitu terkait erat dengan era digital. Kemajuan teknologi dan produk-produk gawai canggih yang kian murah harganya menjadi katalisator.
Kita tentu masih ingat bagaimana penolakan besar-besaran hingga demo berujung kekerasan di bisnis taksi. Pengemudi taksi konvensional terkaget-kaget akan dampak keberadaan taksi online yang begitu cepat mengubah kebiasaan masyarakat, dalam hal penggunaan layanan transportasi.
Tak hanya kota-kota besar di Pulau Jawa, daerah dengan perekonomian kian maju perlahan tetapi pasti mulai mencicipi jasa layanan dan bisnis yang berorientasi digital. Di Provinsi Sumatra Barat misalnya, persoalan taksi online mulai merebak, begitu pula di Sulawesi, dan bisa jadi menyusul Kalimantan, Maluku dan Papua.
Era digital yang disruptif pula yang membuat pro kontra kompetisi antarpelaku usaha menjadi menarik untuk harus selalu diperhatikan pebisnis.
Di bisnis jasa perhotelan & penjualan tiket moda transportasi, keberadaan platform layanan daring membuat banyak kamar hotel tak bisa terisi penuh. Okupansi di hotel tak bisa maksimal, sedangkan rumah, kamar, apartemen yang semula kosong, kini banyak diminati konsumen.
Masyarakat pengguna jelaslah tipe-tipe orang yang membutuhkan barang ataupun jasa dengan harga murah dan pelayanan yang lebih personal, tak ribet, efektif dan efisien.
Setidaknya, yang terjadi di bisnis ritel, transportasi dan perhotelan bisa dikatakan bukanlah persaingan murni. Pola bisnis yang konvensional dengan pebisnis daring, tak bisa begitu saja dikatakan sama persis.
Pebisnis online seakan lebih jeli memanfaatkan informasi dan keberadaan sesuatu yang idle dalam bisnis produk dan layanan konvensional. Dan bukan kebetulan pula masyarakat suka dengan produk dan jasa online. Ini bisnis yang jelas dan keuntungan yang tentu tak sedikit.
Sepintas, benang merah yang terlihat adalah kemudahan berkomunikasi melalui keberadaan Internet yang terjangkau dan murah, berdampak pasti terhadap prioritas, kebiasaan dan pola-pola konsumsi masyarakat.
Boleh saja sebagian pihak menilai era disruptif belumlah menggebrak semua lini bisnis. Peritel masih memiliki asa sebab karakter konsumen saat ini masih cenderung impulsif dalam berbelanja, apalagi mereka ingin menginderai produk sebelum membeli, yang mana merupakan kelemahan e-commerce.
Namun, semua itu mau sampai kapan? Kita juga melihat pola disruptif, mungkin pelan tetapi pasti, akan mengetuk pintu bisnis-bisnis lainnya. Lihatlah di bisnis telekomunikasi, publik sudah dua dekade ini seperti melupakan keberadaan telepon rumah.
Kita juga harus melihat bagaimana pola bisnis di industri kreatif seperti musik dan film yang mau tak mau harus memiliki siasat baru agar tidak terjengkang dilibas zaman digital.
Semua kemungkinan pola bisnis baru terbuka seiring dengan kehadiran era digital. Siapa yang bisa menjamin bisnis listrik ke depan hanya dilakoni oleh PLN saja? Bukankah di bisnis BBM pun, Pertamina tak lagi sendiri?
Karena itu, harian ini berharap para pelaku bisnis mempersiapkan strategi usaha baru yang adaptif. Jangan sampai, ketika bel itu berbunyi lagi, kita menjadi pihak yang ketinggalan zaman.
(Tulisan ini terbit sebagai Editorial Bisnis Indonesia edisi Selasa 26 September 2017)
Di satu sisi, penutupan toko boleh jadi sebagai strategi bisnis perusahaan ritel untuk mencari lokasi-lokasi baru yang prospektif untuk ekspansi usaha. Sebaliknya, penutupan toko bisa dikarenakan kinerja tak sesuai harapan.
Saat ini banyak toko dan gerai penjualan yang berada di lokasi yang semula dianggap prospektif, belakangan mengalami kemunduran karena sejumlah alasan. Keputusan bisnis pun dibuat, daripada merugi, lebih baik memang ditutup.
Sejumlah faktor yang disinyalir menjadi sebabnya yakni turunnya daya beli, konsumen yang menahan belanja, atau persaingan ketat di sesama peritel, khususnya setelah hadirnya platform ritel online, dan lainnya.
Bagi sebagian pihak, inilah sebuah keniscayaan di era digital. Kenyataan yang harus dihadapi para pebisnis kini bukanlah risiko konvensional. Iklim usaha memang masih mengikuti kemauan konsumen, tetapi dengan pola, cara, produk yang jelas berbeda jauh.
Konsumen milenial, seperti dikatakan banyak orang, merupakan generasi yang begitu terkait erat dengan era digital. Kemajuan teknologi dan produk-produk gawai canggih yang kian murah harganya menjadi katalisator.
Kita tentu masih ingat bagaimana penolakan besar-besaran hingga demo berujung kekerasan di bisnis taksi. Pengemudi taksi konvensional terkaget-kaget akan dampak keberadaan taksi online yang begitu cepat mengubah kebiasaan masyarakat, dalam hal penggunaan layanan transportasi.
Tak hanya kota-kota besar di Pulau Jawa, daerah dengan perekonomian kian maju perlahan tetapi pasti mulai mencicipi jasa layanan dan bisnis yang berorientasi digital. Di Provinsi Sumatra Barat misalnya, persoalan taksi online mulai merebak, begitu pula di Sulawesi, dan bisa jadi menyusul Kalimantan, Maluku dan Papua.
Era digital yang disruptif pula yang membuat pro kontra kompetisi antarpelaku usaha menjadi menarik untuk harus selalu diperhatikan pebisnis.
Di bisnis jasa perhotelan & penjualan tiket moda transportasi, keberadaan platform layanan daring membuat banyak kamar hotel tak bisa terisi penuh. Okupansi di hotel tak bisa maksimal, sedangkan rumah, kamar, apartemen yang semula kosong, kini banyak diminati konsumen.
Masyarakat pengguna jelaslah tipe-tipe orang yang membutuhkan barang ataupun jasa dengan harga murah dan pelayanan yang lebih personal, tak ribet, efektif dan efisien.
Setidaknya, yang terjadi di bisnis ritel, transportasi dan perhotelan bisa dikatakan bukanlah persaingan murni. Pola bisnis yang konvensional dengan pebisnis daring, tak bisa begitu saja dikatakan sama persis.
Pebisnis online seakan lebih jeli memanfaatkan informasi dan keberadaan sesuatu yang idle dalam bisnis produk dan layanan konvensional. Dan bukan kebetulan pula masyarakat suka dengan produk dan jasa online. Ini bisnis yang jelas dan keuntungan yang tentu tak sedikit.
Sepintas, benang merah yang terlihat adalah kemudahan berkomunikasi melalui keberadaan Internet yang terjangkau dan murah, berdampak pasti terhadap prioritas, kebiasaan dan pola-pola konsumsi masyarakat.
Boleh saja sebagian pihak menilai era disruptif belumlah menggebrak semua lini bisnis. Peritel masih memiliki asa sebab karakter konsumen saat ini masih cenderung impulsif dalam berbelanja, apalagi mereka ingin menginderai produk sebelum membeli, yang mana merupakan kelemahan e-commerce.
Namun, semua itu mau sampai kapan? Kita juga melihat pola disruptif, mungkin pelan tetapi pasti, akan mengetuk pintu bisnis-bisnis lainnya. Lihatlah di bisnis telekomunikasi, publik sudah dua dekade ini seperti melupakan keberadaan telepon rumah.
Kita juga harus melihat bagaimana pola bisnis di industri kreatif seperti musik dan film yang mau tak mau harus memiliki siasat baru agar tidak terjengkang dilibas zaman digital.
Semua kemungkinan pola bisnis baru terbuka seiring dengan kehadiran era digital. Siapa yang bisa menjamin bisnis listrik ke depan hanya dilakoni oleh PLN saja? Bukankah di bisnis BBM pun, Pertamina tak lagi sendiri?
Karena itu, harian ini berharap para pelaku bisnis mempersiapkan strategi usaha baru yang adaptif. Jangan sampai, ketika bel itu berbunyi lagi, kita menjadi pihak yang ketinggalan zaman.
(Tulisan ini terbit sebagai Editorial Bisnis Indonesia edisi Selasa 26 September 2017)
Comments