Iuran BPJS Kesehatan, Murah atau Mahal?
Sebagai institusi yang didirikan oleh pemerintah,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memiliki tanggung jawab
untuk menjaga neraca keuangan, supaya tidak membawa kerugian kepada negara.
Neraca keuangan BPJS Kesehatan memang menjadi hal
yang krusial. BPJS Kesehatan harus menanggung beban yang tidak kecil seiring
dengan peran vitalnya selaku lembaga yang mengelola program jaminan kesehatan
seluruh rakyat Indonesia.
Menjaga pemasukan dan pengeluaran yang berimbang
bukanlah perkara mudah bagi BPJS Kesehatan. Biaya berobat tak murah. Inflasi
kesehatan terus meningkat tiap tahun. Acap kali Dana Jaminan Sosial (DJS) pun
tergerus.
Posisi surplus memang sempat dibukukan BPJS Kesehatan
dalam beberapa tahun terakhir. Mengacu data BPJS Kesehatan yang dipublikasikan
pada 5 Juli 2024, posisi aset neto DJS Kesehatan pada 2022 tercatat surplus
Rp56,5 triliun. Jumlah itu kemudian naik menjadi Rp56,66 triliun pada 2023.
Namun yang menjadi catatan, beban jaminan kesehatan
sepanjang 2023 mencapai Rp158,85 triliun, sedikit di atas pendapatan iuran yang
sebesar Rp158,12 triliun. Hal itu berarti beban jaminan telah melampaui
penerimaan iuran. Kondisi serupa dikhawatirkan kembali terjadi pada 2024 ini.
Pada tahun ini, potensi defisit bisa saja terjadi
sebagai akibat dari lonjakan inflasi kesehatan hingga utilisasi medis.
Meskipun, secara umum, kondisi defisit tersebut tidak akan terjadi pada total aset
BPJS Kesehatan.
Aset neto BPJS Kesehatan memang surplus. Hal ini
karena pada 2019–2020 silam, BPJS Kesehatan melakukan penyesuaian iuran yang
membuat pendapatan kian tebal.
Selain itu, pada saat Covid-19, jumlah pengunjung
yang mendatangi fasilitas kesehatan turun, begitu pun dengan utilisasi dan klaim
yang turun. Pengeluaran yang berkurang membuat aset neto BPJS Kesehatan
bertambah.
Pada tahun ini, inflasi kesehatan masih menjadi
momok. Inovasi dan perkembangan baru di bidang kedokteran membuat biaya yang
harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan kesehatan tak lagi murah.
Apalagi kepercayaan masyarakat yang meningkat
terhadap layanan BPJS Kesehatan justru turut membuat biaya utilisasi dan klaim
tagihan dari rumah sakit membengkak.
Hal lain yang harus dihadapi manajemen BPJS
Kesehatan ialah besaran iuran. Nominal iuran yang disesuaikan tentu akan
menguntungkan bagi neraca keuangan BPJS Kesehatan. Namun, tentu tak semudah itu
menaikkan besaran iuran yang membebani masyarakat.
Apalagi, masih ada jutaan orang peserta jaminan
kesehatan nasional (JKN) yang menunggak. Per 1 Juni 2024, dari total 273 juta
peserta JKN, terdapat 58,3 juta peserta yang berstatus non aktif. Dari data
itu, ada 16,9 juta peserta JKN yang non aktif dan memiliki tunggakan iuran.
Jika diperdalam lagi, sebanyak 9,7 juta peserta non
aktif yang menunggak tersebut berasal dari peserta program bantuan iuran dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Artinya status non aktif peserta
tersebut berasal dari pemerintah daerah.
Tunggakan-tunggakan tersebut merupakan akumulasi
dari 2014. Pada saat awal BPJS Kesehatan berdiri, mereka mendaftar saat kondisi
sudah sakit, dan waktu sehat tidak bayar lagi. Piutang itulah yang menggulung
dan terus tercatat di neraca keuangan BPJS Kesehatan hingga kini.
Memang sejak 2023, BPJS Kesehatan telah mereaktivasi
status 7,3 juta peserta non aktif tersebut. Namun, tagihan iuran atau piutang
mereka belum terhapus. Karena itu kita berharap pemerintah dan pihak-pihak
terkait merumuskan dan mengeluarkan aturan teknis pemutihan (write off) terkait
dengan tunggakan peserta JKN tersebut.
Tantangan lain adalah penyempurnaan layanan BPJS
Kesehatan. Mekanisme pelaksanaan kelas rawat inap standar (KRIS) sesuai dengan
Perpres No. 59/2024 masih menjadi evaluasi semua pihak, sehingga kenaikan iuran
belumlah diterapkan.
Apapun strateginya, kita mendukung inisiatif
manajemen BPJS Kesehatan dan kebijakan pemerintah untuk menjaga layanan
kesehatan masyarakat menjadi lebih baik dan tetap terjangkau, tanpa terkendala
risiko defisit.
please visit EDITORIAL: Berkelit dari Defisit (bisnisindonesia.id)
Comments