Iran vs Israel, Efeknya Bagi Indonesia
Pada Sabtu (13/4/2024) malam, kawasan Timur Tengah memasuki babak baru. Situasi genting ketika hari itu Iran melancarkan serangan ke wilayah Israel sebagai respons atas serangan terhadap gedung konsulatnya di Damaskus, Suriah.
Kegentingan di Timur Tengah tersebut bisa berpengaruh pada stabilitas geopolitik dan perekonomian global, termasuk ekonomi Indonesia.
Pemerintah memang cukup sigap merespons segala kemungkinan dari krisis di Timur Tengah tersebut. Pada minggu (14/4), Menteri Keuangan dan para stafnya melakukan meeting mendadak untuk mengkaji respons yang tepat.
Bahkan pada Selasa (16/4) Presiden Joko Widodo memanggil para menteri terkait dan Gubernur Bank Indonesia merumuskan strategi dalam menghadapi perkembangan situasi ekonomi dan keuangan global dan tensi geopolitik yang sangat tinggi bergerak cepat dan dinamis.
Di sisi geopolitik, kita mendukung upaya pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri yang menerima arahan Presiden Jokowi agar Indonesia dapat berinisiatif sebagai penengah dalam konflik Iran vs Israel.
Eskalasi konflik antara Iran dan Israel memicu efek domino terhadap perekonomian Indonesia. Otoritas moneter dan fiskal pun memutar otak demi melindungi kepentingan ekonomi nasional dari sisi belanja negara dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Bank Indonesia (BI) menegaskan akan terus melakukan langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang sempat terperosok ke level Rp16.200 per dolar AS. Sejumlah skema intervensi dilakukan bank sentral di pasar spot (tunai) atau pembelian secara tunai maupun non delivery forward (NFD), agar nilai tukar Garuda tak melemah.
Langkah BI tak bisa sendiri dan harus berkoordinasi dengan otoritas fiskal agar respons kebijakan pemerintah bisa menjangkau seluruh dampak dari efek domino konflik Timur Tengah tersebut.
APBN dan pengelolaannya yang lincah akan terus menjadi instrumen yang penting dalam menghadapi gejolak dan dinamika global dan nasional.
Meski begitu, faktor yang cukup sulit dikendalikan yaitu harga minyak mentah (crude oil). Belanja negara untuk impor minyak mentah akan bertambah jika harga komoditas minyak itu naik.
Impor minyak mentah yang membengkak juga bakal berimbas pada harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Dalam hitung-hitungan yang dibuat pemerintah untuk skenario premium risk, kenaikan harga minyak mentah bisa di rentang US$5 per barel sampai dengan US$10 per barel dari perdagangan pekan ini.
Biasanya, selisih harga minyak mentah dunia dengan Minyak Mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) terpaut sekitar US$3 per barel sehingga harga minyak mentah dunia bisa naik ke level US$100 per barel.
Kajian yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan setiap kenaikan harga minyak mentah Indonesia US$5 per barel, maka akan menambah subsidi BBM sebesar Rp0,19 triliun.
Lewat simulasi yang disusun Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero), apabila harga ICP di level US$100 per barel dengan kurs Rp15.900 maka anggaran subsidi dan kompensasi BBM serta LPG 3 Kg bakal melebar ke Rp356,14 triliun dari pagu yang disiapkan dalam APBN tahun ini.
Angka-angka triliunan rupiah tersebut tentu sangat membebani anggaran negara.
Di sisi lain, kegiatan importasi, terutama bahan baku untuk kegiatan manufaktur nasional, akan terdampak dari terhambatnya kegiatan rantai pasok perdagangan global.
Namun, ekspor komoditas bisa mengambil keuntungan dari kenaikan harga dan selisih nilai tukar. Kondisi tersebut tentu bisa dimitigasi dan bahkan dimanfaatkan untuk menambah pendapatan negara.
Kita berharap pemerintah, seraya memonitor keadaan, menyiapkan langkah riil dan menyesuaikan strategi yang lincah dalam menjaga ekonomi nasional. Respons pemerintah yang tepat akan membuat para investor tetap menaruh keyakinan terhadap Indonesia.
Comments