Optima, skandal yang terperam (2)
Optima, skandal yang terperam (2)
Oleh Arif Gunawan S.
Wartawan Bisnis Indonesia
Robert Widjaja mungkin tidak pernah tahu namanya sempat menjadi perbincangan di rapat-rapat direksi dan rapat koordinasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Robert, yang menanam uangnya di PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities), sempat diposisikan sebagai ‘kunci’ penyelesaian kasus Grup Optima. Situasi tersebut bermula dari pemeriksan BEI, tak lama setelah kasus itu meledak awal September 2009.
Pemeriksaan itu menemukan perbedaan data antara saldo di Optima Securities dengan saldo di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI).Atas perbedaan tersebut, Dirut Optima Securities Harjono berdalih hal tersebut hanya karena salah input dan bisa dikoreksi.
Tim pemeriksa BEI lalu menunggu, dan butuh hampir sebulan untuk sadar bahwa alasan Harjono mengada-ada, sampai Optima Securities mengaku bermasalah. Fakta material itu akhirnya mengundang suspen, 23 Oktober 2009.
Untuk mengklarifikasi situasi tersebut, tiga hari setelah suspen, Harjono dan Direktur Optima Securities Lanny V. Taruli mendatang kantor BEI. Keduanya ditemui oleh Direktur Penilaian Perusahaan BEI Eddy Sugito.
Dalam pertemuan itu, Harjono menyatakan nilai efek nasabahnya yang bermasalah Rp165 miliar tersebar di 50 rekening. Pernyataan ini menganulir pengakuan sebelumnya di hadapan Bapepam-LK yang mengklaim hanya terdapat 10 rekening.
Harjono juga mengaku Rp400 miliar dana Optima Securities terpakai untuk menambal kewajiban PT Optima Kharya Capital Management (Optima Management), seiring dengan anjloknya bursa pada akhir 2008.
“Optima Management melikuidasi obligasi aset dasar kontrak pengelolaan dana dan reksa dana. Waktu likuidasi, nilai asetnya hancur, ada rush lagi. Untuk menambal, dana Optima Securities dipakai,” kata Eddy dalam rapat direksi BEI, tak lama setelah pertemuan itu.
Harjono, dalam pertemuan itu, juga mengusulkan cara minimalisasi kerusakan dengan mengalihkan atau merelokasi konflik melawan puluhan nasabah Optima Securities kepada tiga nasabah terbesar, yakni Robert, Jawadi, investor asal Yogyakarta, dan Aryo asal Solo.
Dia meyakinkan direksi BEI bahwa dirinya bisa berunding kepada Robert, Jawadi, dan Aryo, untuk ‘mengorbankan’ sekitar Rp170 miliar total efek mereka di Optima Securities. Operasi penyelamatan itu diskenariokan rahasia (silence operation). Publik tak perlu tahu.
Menanggapi usulan tersebut, Eddy menyatakan tidak bisa ikut campur. Itu pilihan Harjono. Namun, dia menekankan prioritas BEI adalah agar Optima Securities menyelesaikan persoalan secepatnya seperti ketentuan pasar modal.
Segendang sepenarian dengan BEI, Bapepam-LK yang kian sensitif dengan penggelapan dana nasabah sejak mencuat kasus Sarijaya-Antaboga, juga membiarkan silence operation tersebut. Atas nama mencegah kepanikan pasar, efek nasabah Optima Securities pun tak dibekukan.
Psikologi kepanikan itu pula yang menjelaskan kenapa Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam-LK Nurhaida kemudian mengizinkan Harjono bernegosiasi dengan Robert dkk. Izin yang kemudian justru menempatkan otoritas bursa dan pasar modal ke posisi pasif.
Padahal, Robert, melalui Chandra, mengaku negosiasi itu tak pernah ada. “Negosiasi yang ada adalah September 2009, Optima Securities mengajukan ganti rugi tunai Rp22,5 miliar, tanah, dan saham PT Colorpark Indonesia Tbk,” kata Chandra, 21 Juni 2010.
//Operasi rahasia//
Di balik meja kantornya, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito melancarkan silence operation versinya sendiri. Diam-diam, pria yang gemar berjaket kulit a la pejabat Bareskrim Polri ini mengonfirmasi langsung ketiga investor tersebut.
Ketika ditemui di kantornya 28 Juni 2010, Sardjito mengakui operasi rahasia itu menemukan fakta bahwa Robert, Jawadi, dan Aryo, menolak proposal Harjono dan membantah adanya negosiasi. Dari fakta itulah akhirnya, Bapepam-LK menolak usulan relokasi konflik.
“Secara logis, tidak mungkin ada investor rela uangnya dipakai menambal dana orang lain ketika dia belum tentu bisa mendapatkan kembali asetnya. Karena itu, kami langsung blokir rekening efek Optima Securities yang diduga terafiliasi dengan Harjono,” katanya.
Rekening itu berjumlah 34 buah plus 11 rekening nominee. Bersamaan dengan itu, Sardjito menolak permintaan Lanny untuk membuka blokir Optima Securities. Apalagi, argumennya ganjil, jika nasabah tak bisa menarik dana, Optima Securities seolah memakai dana mereka.
Saat itu, muncul kabar Jawadi, pemilik Toko Progo di Yogyakarta, hendak memindahkan Rp60 miliar dananya di Optima Securities ke PT Dinamika Usahajaya. Pada saat yang sama, Robert, nasabah dengan eksposur aset terbesar, juga ngotot keluar dari Optima Securities.
Tak pelak, tekanan dari Bapepam-LK yang diiringi serangkaian permintaan pemindahan dana nasabah utamanya menyebabkan posisi Harjono terjepit. Dia lalu mendekati Dirut BEI Ito Warsito agar menekan Robert guna menyetujui skenario relokasi konflik tersebut.
Permintaan itu disaksikan Dirut KSEI Ananta Wiyogo, Dirut Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) Yunus Hoesein, dan mantan Dirut BEI Erry Firmansyah dalam pertemuan tertutup di kantor KSEI pada pertengahan Desember 2009.
Ito menolak permintaan itu, karena bisa berkonsekuensi hukum serius. Di tengah kemelut, Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Anggota Bursa BEI Uriep Budhi Prasetyo mengambil solusi jitu: Pastikan dahulu kebenaran jumlah efek bodong yang diklaim Optima Securities hanya 67 buah, sebelum membahas proposal Harjono.
Rekonsiliasi data oleh BEI dilancarkan pada Januari 2010 dan baru selesai dua bulan karena data off balance sheet yang dipasok Optima Securities berubah-ubah. Keterangan Harjono juga tidak konsisten soal jumlah efek bermasalah, dari 50 efek menjadi 67 efek.
Akhir Februari 2010, Uriep melaporkan hasil rekonsiliasi dari pemeriksaannya. Dari total 1.827 rekening nasabah Optima Securities, hanya 421 yang aktif. Sisanya, sebanyak 1.406 rekening diketahui tidak lagi aktif.
Dari 421 rekening aktif, 262 berpotensi bersih karena efek dan nasabahnya cocok dengan data back office internal system (boffis) di Optima Securities dan central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. Namun, sekitar 150 rekening terindikasi bodong dan 50 di antaranya diduga terafiliasi dengan Harjono.
Temuan ini membungkam klaim-klaim Harjono. Proposal penyelamatannya pun dibuang ke tempat sampah. Pada 5 Maret 2010, setelah sekian lama, Bapepam-LK dan BEI baru bernyali membekukan rekening seluruh nasabah Optima Securities.
“Setelah freeze, kita membuat satuan tugas seperti kasus Sarijaya. Ini silence operation, tidak muncul di media. Perusahaan efeknya [Optima Securities] yang kirim form ke nasabah, nanti hasil klaim ditaruh ke kita,” ujar Uriep dalam rapat koordinasi BEI, 15 Maret 2010.
Dengan skenario silence operation yang baru ini, Uriep bisa bernapas lega. Kekhawatiran soal kepanikan pasar teratasi, dan tugas verifikasi segera tuntas, meski akhir ceritanya tak berbeda seperti dalam kasus Sarijaya—tidak menyinggung soal pengembalian dana nasabah.
Akhir Juni 2010, Uriep menyatakan ada 401 efek nasabah yang aktif di Optima Securities, dan sebanyak 130 nasabah dinyatakan clean and clear, 132 masih diverifikasi, dan sisanya dengan nilai efek Rp21 miliar masih menunggu klaim nasabah.
“Sekarang rambut saya mulai menghitam lagi,” ujarnya sembari tersenyum ketika ditemui di lobi Bapepam-LK, 28 Juni 2010.
//Kondisi khusus//
Di kalangan karyawan Optima Securities, Harjono Kesuma dikenal pendiam. Interaksi interpersonalnya tidak begitu intens, Apalagi, koridor menuju ruangannya tak melewati episentrum ruang karyawan di kantor Optima Securities, Menara Rajawali, Jakarta Selatan.
Namun di balik sikap diam itu, Harjono tidak abai dengan nasib sekitar 60 karyawannya. Terhitung sejak 23 Oktober 2009, sejak sanksi suspen membekap Optima Securities hingga laporan ini diturunkan, Harjono bertahan. Tak ada satupun karyawan yang di-PHK.
“Memang ada beberapa kawan yang mengundurkan diri, tapi tak ada pemecatan,” tutur seorang karyawan Optima Securities yang menolak disebut identitasnya. “Kami berharap Bapepam-LK tetap membiarkan Optima Securities beroperasi.”
Harapan serupa dikemukakan Harjono melalui kuasa hukumnya, Eggi Sudjana. Pengacara senior ini secara langsung mengajukan surat berisi skema penyelesaian kewajiban kliennya kepada Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito.
“Skemanya adalah pemulihan aset nasabah [asset resettlement], penggantian kerugian tiga nasabah terbesar Optima Securities dengan aset berupa tanah seluas 30 hektare di Sentul dan beberapa saham,” tuturnya dalam wawancara 23 Juni 2010.
Namun, Eggi meminta Bapepam-LK mencabut suspen, karena cenderung tidak adil. Di satu sisi otoritas pasar modal mewajibkan Optima Securities membayar dana nasabah, tapi di sisi lain kliennya dihambat menjalankan bisnis untuk meraih dana guna membayar kewajiban.
Soal nasib nasabah, dia menilai ada perbedaan cara pandang. Menurut dia, kerugian adalah konsekuensi investasi. “Kala-kala untung, kala-kala rugi. Nilai kerugian Optima Securities itu hanya Rp300 miliar, karena Rp400 miliar itu utang afiliasi ke Optima Management,” ujarnya.
Bapepam-LK bergeming. Optima Securities tetap diwajibkan memenuhi modal kerja bersih disesuaikan Rp25 miliar guna mencabut suspen. Ini lingkaran setan, sebab pokok yang diatasi Optima Securities untuk membuka suspen itulah yang membuat modal kerjanya minus Rp700 miliar.
Sardjito menilai pembukaan suspen Optima Securities belum tentu mengatasi persoalan karena ada risiko eksodus. Berdasar keterangan BEI dan Bapepam-LK, 130 nasabah Optima Securities yang rekeningnya lolos verifikasi memilih memindahkan efek ke sekuritas lain.
“Jika ada nasabah yang pindah, setidaknya Optima Securities masih bisa mencari nasabah baru dan klien kami punya posisi tawar untuk bernegosiasi dengan investor guna membantu menyelesaikan kewajiban,” demikian argumentasi Eggi.
Sampai sekarang, Eggi mengaku Bapepam-LK tidak pernah menekan Optima Securities menyelesaikan kewajiban dengan ancaman pidana. “Jika pasal pidana bermain, tanggung-jawab penyelesaian dana nasabah OKCS pun beralih kepada negara,” ujarnya.
//Silence revolution//
Bagi Ketua Bapepam-LK A. Fuad Rahmany, meski ada konsekuensi munculnya kesan lamban dan tidak tegas, pilihan mengedepankan penyelesaian bisnis di atas penyelesaian hukum adalah pilihan ideal untuk menangani kasus Optima Securities.
Hingga kini, Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK belum mengoper hasil pemeriksaan Optima Securities ke polisi. Optima Securities yang sudah menyedot dana nasabah tersuspen satu semester lebih, hidup tak boleh dibunuh pun enggan.
Padahal, Peraturan Bursa No.III-C tentang Pembekuan dan Pencabutan Keanggotaan Bursa menyebut izin broker dicabut jika disuspen 6 bulan lebih. Namun, pilihan Bapepam-LK untuk mengambangkan Optima Securities juga tidak datang dari ruang hampa.
Pilihan itu dipicu oleh ending antiklimaks kasus Sarijaya. Akhir kasus tersebut telah menjadi jurisprudensi bahwa pasal-pasal pidana penggelapan dana investor di pasar modal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan.
Kala itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Herman Ramli, pelaku penggelapan dana nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas, dengan hukuman 26 bulan. Hukuman itu tak ada artinya dibandingkan dengan kerugian nasabah yang hampir seperempat triliun.
“Yang paling utama adalah kepentingan nasabah diselamatkan dulu sebelum bicara soal pidana. Saya dengar nasabah sudah menggugat Harjono, tapi mengenai status tersangka Harjono, saya tidak komentarlah,” tutur Fuad dalam wawancara 23 Juni 2010.
Bagi Fuad, kasus Optima Securities paling tidak memperkuat tekad melanjutkan apa yang disebutnya silence revolution pasar modal, yakni radikalisasi perubahan sistem pengawasan anggota bursa (AB) dan perlindungan nasabah, hingga revisi UU Pasar Modal Nomor 8/1995.
Beberapa usul ekstrim muncul dalam draf revisi itu, a.l. pasal sita, kewenangan menyadap, mencekal, membuka rekening bank untuk penyidikan. Bahkan mengambil-alih sekuritas penyeleweng dana nasabah, mirip statutory management di Bank Indonesia (BI).
Revisi UU Pasar Modal kali terakhir dibahas dalam rapat Bapepam-LK di Bandung, Jawa Barat akhir Juni lalu. Targetnya, RUU dibahas DPR tahun ini, meski diyakini mengundang resistensi berbagai kalangan, baik dari BI maupun anggota DPR.
“Memang ada perlawanan. Namun kami berharap kasus Optima Securities membuka mata bahwa kewenangan Bapepam-LK saat ini sangat terbatas. Di negara lain, kewenangan seperti yang kami usulkan sudah dimiliki otoritas pasar modalnya,” ujar Sardjito.
Sejak skandal Antaboga merebak, kesadaran otoritas pasar modal dan bursa memperkuat pengawasan Anggota Bursa (AB) kian muncul ke permukaan. Hal ini terlihat dari inisiatif BEI membentuk manajemen risiko AB pada Oktober 2008.
Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) ditugasi menyusun basis data nasabah dan personel AB, sedangkan divisi hukum BEI menggarap aspek legal formal. Serangkaian upaya itu makin terakselerasi setelah kasus Sarijaya pecah.
Dalam rapat koordinasi BEI pada 23 Januari 2009, disepakati terbentuknya Tim Pematangan dan Finalisasi Risk Management AB. Rapat itu menargetkan dokumen rancangan manajemen risiko tersebut selesai akhir Februari 2009.
Ironisnya, APEI justru tidak mampu memenuhi target tersebut dengan alasan masih terjadi polemik seputar batasan risiko yang dilaporkan, tahapan pelaporan, hingga uraian mengenai kegunaannya. Erry Firmansyah, dirut BEI ketika itu, pun berang.
“Bukannya proyek database nasabah sudah dibahas pada September 2008 oleh APEI? Di Bandung kan disepakati database yang simpel, kok sekarang jadi susah? Ngapain bikin database kalau mereka [AB] sendiri takut lapor?” ujarnya.
Proyek itu pun terpaksa ditunda. Manajemen BEI lagi-lagi kembali ke cara klasik, yakni pembinaan AB melalui sosialisasi yang melibatkan seluruh direksi, komisaris, dan pemegang saham pengendali AB—hingga sekonyong-konyong skandal Optima Securities pecah.
//Mukjizat//
Sebelum skandal Optima Securities menampar otoritas bursa dan pasar modal, boleh dikata AB punya ‘mukjizat’. Pembinaan BEI yang cenderung kooperatif, memungkinkan mereka berbisnis seperti biasa, meski melanggar ketentuan bursa.
Berdasarkan dokumen pemeriksaan AB per Januari 2009, masih ada 49 broker melakukan pelanggaran serius. Update selanjutnya pada Agustus relatif sama. Sebanyak 43 AB masih mencatatkan perbedaan antara dana nasabah di KSEI dengan catatan boffis mereka.
Otoritas bursa merespon lebih keras, kali ini dengan teguran. Surat teguran dikirim untuk AB dengan nilai perbedaan di bawah Rp400 juta, sedangkan 15 AB lain yang nilai perbedaannya di atas Rp400 juta langsung masuk daftar pemeriksaan.
Untuk memperkuat pengawasan itu, pada saat bersamaan BEI membangun sistem informasi nasabah dan pegawai AB. Sistem berbasis web tersebut menggunakan virtual private network dilengkapi sandi dan gambar captcha. Ada pelatihan yang dibuat untuk penerapan sistem itu.
Draf konsultan hukum Sumarjono pun dipelajari untuk menyusun standar kontrak pembukaan rekening efek. Ke depan, diharapkan tidak ada lagi klausul yang menjebak calon investor untuk memberi kuasa AB ‘menyekolahkan’ efek mereka.
Kabar bagus juga berembus dari divisi pemeriksaan BEI. Dari 34 AB yang diperiksa, tidak satupun yang terindikasi sama seperti Optima. Justru, AB yang sempat dicurigai bermasalah pada akhirnya terbukti bersih ketika diaudit.
Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) juga membangun sistem pengawasan portofolio AB dan KSEI. Untuk sementara, laporan tersebut fokus pada volume portofolio. Pada uji coba awal 5 Maret, dari total 117 AB, hanya 14 yang portofolio di Boffis-nya lebih besar.
“Ke depan, sistem itu akan terhubung langsung dengan penghitungan modal kerja bersih disesuaikan setiap AB, untuk memotret posisi mereka secara harian yang akan meningkatkan pengawasan dana dan aset nasabah,” ujar Uriep.
Hingga kini, BEI dan Bapepam-LK masih memverifikasi nasabah Optima Securities. Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam-LK Nurhaida juga sibuk menyosialisasikan kartu acuan kepemilikan sekuritas (Akses), agar nasabah bisa memonitor posisi efek mereka.
Kepada Bisnis, Sardjito, ‘jenderal lapangan’ tim gabungan Bapepam-LK dan BEI dalam penanganan kasus Grup Optima yang selama ini bungkam, berjanji semua persoalan akan dijawab dan dipaparkan ke publik segera setelah verifikasi itu tuntas.
Sampai laporan ini diturunkan, Harjono, kunci kasus Optima Securities, masih memilih bungkam. “Selama ku menyembah-Mu, kupercaya bahwa mukjizat masih terjadi,” demikian nada sambung ponselnya, menyambut telepon konfirmasi. (arif.gunawan@bisnis.co.id)
Oleh Arif Gunawan S.
Wartawan Bisnis Indonesia
Robert Widjaja mungkin tidak pernah tahu namanya sempat menjadi perbincangan di rapat-rapat direksi dan rapat koordinasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Robert, yang menanam uangnya di PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities), sempat diposisikan sebagai ‘kunci’ penyelesaian kasus Grup Optima. Situasi tersebut bermula dari pemeriksan BEI, tak lama setelah kasus itu meledak awal September 2009.
Pemeriksaan itu menemukan perbedaan data antara saldo di Optima Securities dengan saldo di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI).Atas perbedaan tersebut, Dirut Optima Securities Harjono berdalih hal tersebut hanya karena salah input dan bisa dikoreksi.
Tim pemeriksa BEI lalu menunggu, dan butuh hampir sebulan untuk sadar bahwa alasan Harjono mengada-ada, sampai Optima Securities mengaku bermasalah. Fakta material itu akhirnya mengundang suspen, 23 Oktober 2009.
Untuk mengklarifikasi situasi tersebut, tiga hari setelah suspen, Harjono dan Direktur Optima Securities Lanny V. Taruli mendatang kantor BEI. Keduanya ditemui oleh Direktur Penilaian Perusahaan BEI Eddy Sugito.
Dalam pertemuan itu, Harjono menyatakan nilai efek nasabahnya yang bermasalah Rp165 miliar tersebar di 50 rekening. Pernyataan ini menganulir pengakuan sebelumnya di hadapan Bapepam-LK yang mengklaim hanya terdapat 10 rekening.
Harjono juga mengaku Rp400 miliar dana Optima Securities terpakai untuk menambal kewajiban PT Optima Kharya Capital Management (Optima Management), seiring dengan anjloknya bursa pada akhir 2008.
“Optima Management melikuidasi obligasi aset dasar kontrak pengelolaan dana dan reksa dana. Waktu likuidasi, nilai asetnya hancur, ada rush lagi. Untuk menambal, dana Optima Securities dipakai,” kata Eddy dalam rapat direksi BEI, tak lama setelah pertemuan itu.
Harjono, dalam pertemuan itu, juga mengusulkan cara minimalisasi kerusakan dengan mengalihkan atau merelokasi konflik melawan puluhan nasabah Optima Securities kepada tiga nasabah terbesar, yakni Robert, Jawadi, investor asal Yogyakarta, dan Aryo asal Solo.
Dia meyakinkan direksi BEI bahwa dirinya bisa berunding kepada Robert, Jawadi, dan Aryo, untuk ‘mengorbankan’ sekitar Rp170 miliar total efek mereka di Optima Securities. Operasi penyelamatan itu diskenariokan rahasia (silence operation). Publik tak perlu tahu.
Menanggapi usulan tersebut, Eddy menyatakan tidak bisa ikut campur. Itu pilihan Harjono. Namun, dia menekankan prioritas BEI adalah agar Optima Securities menyelesaikan persoalan secepatnya seperti ketentuan pasar modal.
Segendang sepenarian dengan BEI, Bapepam-LK yang kian sensitif dengan penggelapan dana nasabah sejak mencuat kasus Sarijaya-Antaboga, juga membiarkan silence operation tersebut. Atas nama mencegah kepanikan pasar, efek nasabah Optima Securities pun tak dibekukan.
Psikologi kepanikan itu pula yang menjelaskan kenapa Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam-LK Nurhaida kemudian mengizinkan Harjono bernegosiasi dengan Robert dkk. Izin yang kemudian justru menempatkan otoritas bursa dan pasar modal ke posisi pasif.
Padahal, Robert, melalui Chandra, mengaku negosiasi itu tak pernah ada. “Negosiasi yang ada adalah September 2009, Optima Securities mengajukan ganti rugi tunai Rp22,5 miliar, tanah, dan saham PT Colorpark Indonesia Tbk,” kata Chandra, 21 Juni 2010.
//Operasi rahasia//
Di balik meja kantornya, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito melancarkan silence operation versinya sendiri. Diam-diam, pria yang gemar berjaket kulit a la pejabat Bareskrim Polri ini mengonfirmasi langsung ketiga investor tersebut.
Ketika ditemui di kantornya 28 Juni 2010, Sardjito mengakui operasi rahasia itu menemukan fakta bahwa Robert, Jawadi, dan Aryo, menolak proposal Harjono dan membantah adanya negosiasi. Dari fakta itulah akhirnya, Bapepam-LK menolak usulan relokasi konflik.
“Secara logis, tidak mungkin ada investor rela uangnya dipakai menambal dana orang lain ketika dia belum tentu bisa mendapatkan kembali asetnya. Karena itu, kami langsung blokir rekening efek Optima Securities yang diduga terafiliasi dengan Harjono,” katanya.
Rekening itu berjumlah 34 buah plus 11 rekening nominee. Bersamaan dengan itu, Sardjito menolak permintaan Lanny untuk membuka blokir Optima Securities. Apalagi, argumennya ganjil, jika nasabah tak bisa menarik dana, Optima Securities seolah memakai dana mereka.
Saat itu, muncul kabar Jawadi, pemilik Toko Progo di Yogyakarta, hendak memindahkan Rp60 miliar dananya di Optima Securities ke PT Dinamika Usahajaya. Pada saat yang sama, Robert, nasabah dengan eksposur aset terbesar, juga ngotot keluar dari Optima Securities.
Tak pelak, tekanan dari Bapepam-LK yang diiringi serangkaian permintaan pemindahan dana nasabah utamanya menyebabkan posisi Harjono terjepit. Dia lalu mendekati Dirut BEI Ito Warsito agar menekan Robert guna menyetujui skenario relokasi konflik tersebut.
Permintaan itu disaksikan Dirut KSEI Ananta Wiyogo, Dirut Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) Yunus Hoesein, dan mantan Dirut BEI Erry Firmansyah dalam pertemuan tertutup di kantor KSEI pada pertengahan Desember 2009.
Ito menolak permintaan itu, karena bisa berkonsekuensi hukum serius. Di tengah kemelut, Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Anggota Bursa BEI Uriep Budhi Prasetyo mengambil solusi jitu: Pastikan dahulu kebenaran jumlah efek bodong yang diklaim Optima Securities hanya 67 buah, sebelum membahas proposal Harjono.
Rekonsiliasi data oleh BEI dilancarkan pada Januari 2010 dan baru selesai dua bulan karena data off balance sheet yang dipasok Optima Securities berubah-ubah. Keterangan Harjono juga tidak konsisten soal jumlah efek bermasalah, dari 50 efek menjadi 67 efek.
Akhir Februari 2010, Uriep melaporkan hasil rekonsiliasi dari pemeriksaannya. Dari total 1.827 rekening nasabah Optima Securities, hanya 421 yang aktif. Sisanya, sebanyak 1.406 rekening diketahui tidak lagi aktif.
Dari 421 rekening aktif, 262 berpotensi bersih karena efek dan nasabahnya cocok dengan data back office internal system (boffis) di Optima Securities dan central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. Namun, sekitar 150 rekening terindikasi bodong dan 50 di antaranya diduga terafiliasi dengan Harjono.
Temuan ini membungkam klaim-klaim Harjono. Proposal penyelamatannya pun dibuang ke tempat sampah. Pada 5 Maret 2010, setelah sekian lama, Bapepam-LK dan BEI baru bernyali membekukan rekening seluruh nasabah Optima Securities.
“Setelah freeze, kita membuat satuan tugas seperti kasus Sarijaya. Ini silence operation, tidak muncul di media. Perusahaan efeknya [Optima Securities] yang kirim form ke nasabah, nanti hasil klaim ditaruh ke kita,” ujar Uriep dalam rapat koordinasi BEI, 15 Maret 2010.
Dengan skenario silence operation yang baru ini, Uriep bisa bernapas lega. Kekhawatiran soal kepanikan pasar teratasi, dan tugas verifikasi segera tuntas, meski akhir ceritanya tak berbeda seperti dalam kasus Sarijaya—tidak menyinggung soal pengembalian dana nasabah.
Akhir Juni 2010, Uriep menyatakan ada 401 efek nasabah yang aktif di Optima Securities, dan sebanyak 130 nasabah dinyatakan clean and clear, 132 masih diverifikasi, dan sisanya dengan nilai efek Rp21 miliar masih menunggu klaim nasabah.
“Sekarang rambut saya mulai menghitam lagi,” ujarnya sembari tersenyum ketika ditemui di lobi Bapepam-LK, 28 Juni 2010.
//Kondisi khusus//
Di kalangan karyawan Optima Securities, Harjono Kesuma dikenal pendiam. Interaksi interpersonalnya tidak begitu intens, Apalagi, koridor menuju ruangannya tak melewati episentrum ruang karyawan di kantor Optima Securities, Menara Rajawali, Jakarta Selatan.
Namun di balik sikap diam itu, Harjono tidak abai dengan nasib sekitar 60 karyawannya. Terhitung sejak 23 Oktober 2009, sejak sanksi suspen membekap Optima Securities hingga laporan ini diturunkan, Harjono bertahan. Tak ada satupun karyawan yang di-PHK.
“Memang ada beberapa kawan yang mengundurkan diri, tapi tak ada pemecatan,” tutur seorang karyawan Optima Securities yang menolak disebut identitasnya. “Kami berharap Bapepam-LK tetap membiarkan Optima Securities beroperasi.”
Harapan serupa dikemukakan Harjono melalui kuasa hukumnya, Eggi Sudjana. Pengacara senior ini secara langsung mengajukan surat berisi skema penyelesaian kewajiban kliennya kepada Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito.
“Skemanya adalah pemulihan aset nasabah [asset resettlement], penggantian kerugian tiga nasabah terbesar Optima Securities dengan aset berupa tanah seluas 30 hektare di Sentul dan beberapa saham,” tuturnya dalam wawancara 23 Juni 2010.
Namun, Eggi meminta Bapepam-LK mencabut suspen, karena cenderung tidak adil. Di satu sisi otoritas pasar modal mewajibkan Optima Securities membayar dana nasabah, tapi di sisi lain kliennya dihambat menjalankan bisnis untuk meraih dana guna membayar kewajiban.
Soal nasib nasabah, dia menilai ada perbedaan cara pandang. Menurut dia, kerugian adalah konsekuensi investasi. “Kala-kala untung, kala-kala rugi. Nilai kerugian Optima Securities itu hanya Rp300 miliar, karena Rp400 miliar itu utang afiliasi ke Optima Management,” ujarnya.
Bapepam-LK bergeming. Optima Securities tetap diwajibkan memenuhi modal kerja bersih disesuaikan Rp25 miliar guna mencabut suspen. Ini lingkaran setan, sebab pokok yang diatasi Optima Securities untuk membuka suspen itulah yang membuat modal kerjanya minus Rp700 miliar.
Sardjito menilai pembukaan suspen Optima Securities belum tentu mengatasi persoalan karena ada risiko eksodus. Berdasar keterangan BEI dan Bapepam-LK, 130 nasabah Optima Securities yang rekeningnya lolos verifikasi memilih memindahkan efek ke sekuritas lain.
“Jika ada nasabah yang pindah, setidaknya Optima Securities masih bisa mencari nasabah baru dan klien kami punya posisi tawar untuk bernegosiasi dengan investor guna membantu menyelesaikan kewajiban,” demikian argumentasi Eggi.
Sampai sekarang, Eggi mengaku Bapepam-LK tidak pernah menekan Optima Securities menyelesaikan kewajiban dengan ancaman pidana. “Jika pasal pidana bermain, tanggung-jawab penyelesaian dana nasabah OKCS pun beralih kepada negara,” ujarnya.
//Silence revolution//
Bagi Ketua Bapepam-LK A. Fuad Rahmany, meski ada konsekuensi munculnya kesan lamban dan tidak tegas, pilihan mengedepankan penyelesaian bisnis di atas penyelesaian hukum adalah pilihan ideal untuk menangani kasus Optima Securities.
Hingga kini, Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK belum mengoper hasil pemeriksaan Optima Securities ke polisi. Optima Securities yang sudah menyedot dana nasabah tersuspen satu semester lebih, hidup tak boleh dibunuh pun enggan.
Padahal, Peraturan Bursa No.III-C tentang Pembekuan dan Pencabutan Keanggotaan Bursa menyebut izin broker dicabut jika disuspen 6 bulan lebih. Namun, pilihan Bapepam-LK untuk mengambangkan Optima Securities juga tidak datang dari ruang hampa.
Pilihan itu dipicu oleh ending antiklimaks kasus Sarijaya. Akhir kasus tersebut telah menjadi jurisprudensi bahwa pasal-pasal pidana penggelapan dana investor di pasar modal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan.
Kala itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Herman Ramli, pelaku penggelapan dana nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas, dengan hukuman 26 bulan. Hukuman itu tak ada artinya dibandingkan dengan kerugian nasabah yang hampir seperempat triliun.
“Yang paling utama adalah kepentingan nasabah diselamatkan dulu sebelum bicara soal pidana. Saya dengar nasabah sudah menggugat Harjono, tapi mengenai status tersangka Harjono, saya tidak komentarlah,” tutur Fuad dalam wawancara 23 Juni 2010.
Bagi Fuad, kasus Optima Securities paling tidak memperkuat tekad melanjutkan apa yang disebutnya silence revolution pasar modal, yakni radikalisasi perubahan sistem pengawasan anggota bursa (AB) dan perlindungan nasabah, hingga revisi UU Pasar Modal Nomor 8/1995.
Beberapa usul ekstrim muncul dalam draf revisi itu, a.l. pasal sita, kewenangan menyadap, mencekal, membuka rekening bank untuk penyidikan. Bahkan mengambil-alih sekuritas penyeleweng dana nasabah, mirip statutory management di Bank Indonesia (BI).
Revisi UU Pasar Modal kali terakhir dibahas dalam rapat Bapepam-LK di Bandung, Jawa Barat akhir Juni lalu. Targetnya, RUU dibahas DPR tahun ini, meski diyakini mengundang resistensi berbagai kalangan, baik dari BI maupun anggota DPR.
“Memang ada perlawanan. Namun kami berharap kasus Optima Securities membuka mata bahwa kewenangan Bapepam-LK saat ini sangat terbatas. Di negara lain, kewenangan seperti yang kami usulkan sudah dimiliki otoritas pasar modalnya,” ujar Sardjito.
Sejak skandal Antaboga merebak, kesadaran otoritas pasar modal dan bursa memperkuat pengawasan Anggota Bursa (AB) kian muncul ke permukaan. Hal ini terlihat dari inisiatif BEI membentuk manajemen risiko AB pada Oktober 2008.
Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) ditugasi menyusun basis data nasabah dan personel AB, sedangkan divisi hukum BEI menggarap aspek legal formal. Serangkaian upaya itu makin terakselerasi setelah kasus Sarijaya pecah.
Dalam rapat koordinasi BEI pada 23 Januari 2009, disepakati terbentuknya Tim Pematangan dan Finalisasi Risk Management AB. Rapat itu menargetkan dokumen rancangan manajemen risiko tersebut selesai akhir Februari 2009.
Ironisnya, APEI justru tidak mampu memenuhi target tersebut dengan alasan masih terjadi polemik seputar batasan risiko yang dilaporkan, tahapan pelaporan, hingga uraian mengenai kegunaannya. Erry Firmansyah, dirut BEI ketika itu, pun berang.
“Bukannya proyek database nasabah sudah dibahas pada September 2008 oleh APEI? Di Bandung kan disepakati database yang simpel, kok sekarang jadi susah? Ngapain bikin database kalau mereka [AB] sendiri takut lapor?” ujarnya.
Proyek itu pun terpaksa ditunda. Manajemen BEI lagi-lagi kembali ke cara klasik, yakni pembinaan AB melalui sosialisasi yang melibatkan seluruh direksi, komisaris, dan pemegang saham pengendali AB—hingga sekonyong-konyong skandal Optima Securities pecah.
//Mukjizat//
Sebelum skandal Optima Securities menampar otoritas bursa dan pasar modal, boleh dikata AB punya ‘mukjizat’. Pembinaan BEI yang cenderung kooperatif, memungkinkan mereka berbisnis seperti biasa, meski melanggar ketentuan bursa.
Berdasarkan dokumen pemeriksaan AB per Januari 2009, masih ada 49 broker melakukan pelanggaran serius. Update selanjutnya pada Agustus relatif sama. Sebanyak 43 AB masih mencatatkan perbedaan antara dana nasabah di KSEI dengan catatan boffis mereka.
Otoritas bursa merespon lebih keras, kali ini dengan teguran. Surat teguran dikirim untuk AB dengan nilai perbedaan di bawah Rp400 juta, sedangkan 15 AB lain yang nilai perbedaannya di atas Rp400 juta langsung masuk daftar pemeriksaan.
Untuk memperkuat pengawasan itu, pada saat bersamaan BEI membangun sistem informasi nasabah dan pegawai AB. Sistem berbasis web tersebut menggunakan virtual private network dilengkapi sandi dan gambar captcha. Ada pelatihan yang dibuat untuk penerapan sistem itu.
Draf konsultan hukum Sumarjono pun dipelajari untuk menyusun standar kontrak pembukaan rekening efek. Ke depan, diharapkan tidak ada lagi klausul yang menjebak calon investor untuk memberi kuasa AB ‘menyekolahkan’ efek mereka.
Kabar bagus juga berembus dari divisi pemeriksaan BEI. Dari 34 AB yang diperiksa, tidak satupun yang terindikasi sama seperti Optima. Justru, AB yang sempat dicurigai bermasalah pada akhirnya terbukti bersih ketika diaudit.
Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) juga membangun sistem pengawasan portofolio AB dan KSEI. Untuk sementara, laporan tersebut fokus pada volume portofolio. Pada uji coba awal 5 Maret, dari total 117 AB, hanya 14 yang portofolio di Boffis-nya lebih besar.
“Ke depan, sistem itu akan terhubung langsung dengan penghitungan modal kerja bersih disesuaikan setiap AB, untuk memotret posisi mereka secara harian yang akan meningkatkan pengawasan dana dan aset nasabah,” ujar Uriep.
Hingga kini, BEI dan Bapepam-LK masih memverifikasi nasabah Optima Securities. Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam-LK Nurhaida juga sibuk menyosialisasikan kartu acuan kepemilikan sekuritas (Akses), agar nasabah bisa memonitor posisi efek mereka.
Kepada Bisnis, Sardjito, ‘jenderal lapangan’ tim gabungan Bapepam-LK dan BEI dalam penanganan kasus Grup Optima yang selama ini bungkam, berjanji semua persoalan akan dijawab dan dipaparkan ke publik segera setelah verifikasi itu tuntas.
Sampai laporan ini diturunkan, Harjono, kunci kasus Optima Securities, masih memilih bungkam. “Selama ku menyembah-Mu, kupercaya bahwa mukjizat masih terjadi,” demikian nada sambung ponselnya, menyambut telepon konfirmasi. (arif.gunawan@bisnis.co.id)
Comments