BI dan belenggu inflasi
Independensi BI yang terbelenggu inflasi
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Pada dua bulan terakhir dan entah beberapa bulan ke depan, inflasi dan meroketnya harga barang kebutuhan pokok menjadi perhatian serius bagi Bank Indonesia, pemerintah dan tentu saja masyarakat serta pelaku ekonomi.
Tak susah mencari penyebab naiknya nilai rupiah suatu barang. Kondisi inflasi seakan menjadi dejavu seperti tiga tahun lalu. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi pemicu.
Nilai rupiah, baik inflasi dan nilai tukar mata uang, yang stabil boleh dikatakan merupakan dahaga yang sulit terpuaskan sepenuhnya bagi pelaku ekonomi maupun kalangan masyarakat. Tentu saja itu bukan pekerjaan mudah bagi bank sentral.
Lembaga yang mulai dikatakan ‘independen’ dalam sembilan tahun terakhir ini, hanya bertugas untuk satu tujuan yaitu bagaimana mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Amanat itu jelas termaktub dalam pasal 7 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang diamendemen dengan UU No. 3/2004.
Selama lima tahun terakhir, administered price semacam kenaikan harga BBM menjadi pengganggu terhadap upaya BI untuk menjaga inflasi pada tingkat yang kondusif guna mempercepat gerak roda perekonomian melalui inflation targeting.
Ambil contoh kejadian pada 2005. Pada Juli tahun itu, BI untuk pertama kali menerapkan kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Intinya BI menggunakan BI Rate sebagai referensi suku bunga nasional dalam pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.
Tak hanya itu, kebijakan moneter yang antisipatif dilakukan seraya penguatan koordinasi dengan pihak Depkeu di Lapangan Banteng.
Apa lacur, pemerintah pada tahun itu tak kuat menahan kas negara agar tidak jebol dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Kalkulasi ulang soal subsidi minyak dalam APBN berujung pada keputusan tidak populer menaikkan harga BBM.
Dampak moneter jelas langsung terlihat. Data BPS menunjukkan inflasi pada Oktober 2005 melonjak menjadi 17,89% dari bulan sebelumnya 9,06%. Ujungnya, BI Rate dinaikkan 100 basis poin di usia bulan ketiganya.
Tak hanya itu, bank sentral tetap mengandalkan kebijakan antisipatif dengan kembali mengerek BI Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25% di Rapat Dewan Gubernur BI pada 1 November 2005.
Pada Desember 2005, inflasi jelas melonjak dengan adanya liburan hari raya dan akhir tahun menjadi 18,38%. Dewan Gubernur BI pun menaikkan BI Rate 50 basis poin menjadi 12,75%.
Secara mikro, kenaikan BI Rate memiliki arti kenaikan bunga cicilan pinjaman masyarakat ke bank. Suku bunga kredit pun melonjak sedangkan kenaikan suku bunga simpanan tak seimbang karena terhalang penjaminan LPS.
Memasuki 2006, tekanan inflasi sedikit mereda sehingga BI Rate pun ditetapkan tak berubah sebesar 12,75% selama kuartal I. Bahkan hingga Oktober, sinyal peredaan gejolak harga membuat BI berani memangkas BI Rate rata-rata 50 basis poin tiap RDG.
Mantapnya koordinasi otoritas fiskal-moneter secara one-two seperti kebijakan subsidi dengan pengontrolan suku bunga membuat sektor riil mulai bergerak dan pada Desember 2006, BI Rate menjadi satu digit serta bertengger di posisi 9,75%.
Kondisi stabilitas dengan pertumbuhan di atas 6% praktis membuat bank sentral berada di zona nyaman dan secara bertahap menurunkan BI Rate rata-rata 25 basis poin selama 2007.
Pengaruh komoditas global
Pada empat bulan pertama 2008, faktor gejolak finansial dan kenaikan harga komoditas global masih dianggap menjadi biang keladi kenaikan harga barang di Tanah Air. BI pun bergeming dengan mematok BI Rate sebagai acuan bunga nasional di posisi 8% pada periode Desember hingga April 2008.
Bank sentral bahkan masih meyakini dapat mencapai asumsi target inflasi 5% plus minus 1% hingga akhir 2008. Bukan apa, pengalaman tiga tahun terakhir memang membuktikan pencapaian ekspektasi 6% plus minus 1% pada akhir 2007.
Namun, terlihat penyesuaian landasan keyakinan BI setelah inflasi mulai melonjak dari 8,96% menjadi 10,38% pada Mei dan diikuti kenaikan berikutnya menjadi 11,03% pada Juni dan 11,90% pada Juli.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, sesuatu yang ditakutkan pejabat bank sentral, sulit dikatakan sebagai kompromi antara otoritas moneter dengan otoritas fiskal, bila melihat BI Rate dinaikkan dan kebijakan uang ketat mulai menyentuh industri keuangan.
Lalu bagaimana dengan kondisi moneter pada sisa tahun ini? Pernyataan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom saat menjadi pembicara kunci dalam The 3rd MRC Doctoral Journey in Management, mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.
Bank Indonesia menilai kondisi global yang kurang menguntungkan tetap mengganggu kinerja perekonomian 2008. Pertumbuhan ekonomi pada 2008 diperkirakan pada kisaran 6% atau sedikit menurun dibandingkan dengan perkiraan awal.
“Sementara inflasi, dengan inflasi tahunan per Juli 2008 yang mencapai 11,90%, serta memperhitungkan beberapa faktor risiko serta tekanan inflasi yang masih akan timbul, kami memprakirakan inflasi IHK pada akhir tahun ini akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (y-o-y),” paparnya.
Para pejabat bank sentral mengamati masih adanya risiko tekanan inflasi ke depan yang perlu direspons dengan kebijakan yang tepat. Risiko inflasi tersebut terkait dengan dampak gejolak harga minyak dan pangan dunia tersebut serta tekanan permintaan dalam negeri.
Fokus 2009
Respons bank sentral cukup jelas, BI Rate mencapai 9%. Gubernur BI Boediono seakan melupakan pengalamannya semasa menjadi pejabat pemerintah. Dewan Gubernur tak mengindahkan permintaan menkeu, meneg PPN/Bappenas hingga suara Kadin agar BI Rate tak dinaikkan.
Boediono dan Dewan Gubernur justru mulai memfokuskan pada upaya mencapai posisi inflasi tahun depan yang diperkirakan pada kisaran 6,5%-7,5%. Padahal, BI dan pemerintah sebelumnya membidik 4,5% plus minus 1% sebagai level inflasi 2009.
Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Pada April, rata-rata rupiah sempat melemah 0,37% dari Rp9.174 menjadi Rp9.209 per dolar AS. Namun, tingkat volatilitas menurun dari 0,6% menjadi 0,2%.
Posisi cadangan devisa yang terus naik sebesar US$18 miliar hingga menembus US$60 miliar dalam dua tahun terakhir, cukup berpengaruh terhadap kestabilan nilai tukar rupiah.
Pergerakan nilai tukar rupiah di kisaran Rp9.100-Rp9.200 per dolar AS, setidaknya memberikan ruang bagi eksportir dan importir agar tak selalu merugi akibat devaluasi mata uang.
Boediono selaku Gubernur juga berupaya menjaga wibawa BI yang independen, paling tidak jangan sampai inflation targeting framework tak lagi manjur. Lagipula, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan angka inflasi bulanan pada Juli lebih rendah dibandingkan dengan data Juni sebesar 2,46%.
Artinya, menurut BPS, tidak ada lagi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap laju inflasi yang dicatatkan pada Juli. Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan inflasi terbesar disumbang oleh kenaikan harga bahan makanan yang terjadi akibat adanya permasalahan pasokan.
Biar bagaimanapun, Dewan Gubernur BI tak ingin kecolongan laju inflasi dan memaksakan penggunaan seluruh instrumen kebijakan moneter mulai dari pengendalian volatilitas nilai tukar dan penyerapan ekses likuiditas melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), hingga kenaikan giro wajib minimum (GWM).
Bagi perbankan, kebijakan moneter yang mengarah pada tight money policy akan mengganggu ekspansi bisnis. Bankir bahkan tak siap bila instrumen GWM diperketat. “Kalau GWM naik, kami tentu akan nervous, karena harus menyesuaikan di tengah kondisi sulit seperti sekarang,” kata Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo.
BI Rate yang tinggi akan diikuti dengan kenaikan bunga pinjaman. Hal ini jelas kurang menguntungkan bagi bank karena penyerapan kredit tak akan semulus coretan rencana kerja.
Tuntutan perbankan dan dunia usaha tentu memusingkan BI dan layak ditunggu jurus ampuh Boediono berkelit dari belenggu inflasi.
Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia
Pada dua bulan terakhir dan entah beberapa bulan ke depan, inflasi dan meroketnya harga barang kebutuhan pokok menjadi perhatian serius bagi Bank Indonesia, pemerintah dan tentu saja masyarakat serta pelaku ekonomi.
Tak susah mencari penyebab naiknya nilai rupiah suatu barang. Kondisi inflasi seakan menjadi dejavu seperti tiga tahun lalu. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi pemicu.
Nilai rupiah, baik inflasi dan nilai tukar mata uang, yang stabil boleh dikatakan merupakan dahaga yang sulit terpuaskan sepenuhnya bagi pelaku ekonomi maupun kalangan masyarakat. Tentu saja itu bukan pekerjaan mudah bagi bank sentral.
Lembaga yang mulai dikatakan ‘independen’ dalam sembilan tahun terakhir ini, hanya bertugas untuk satu tujuan yaitu bagaimana mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Amanat itu jelas termaktub dalam pasal 7 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang diamendemen dengan UU No. 3/2004.
Selama lima tahun terakhir, administered price semacam kenaikan harga BBM menjadi pengganggu terhadap upaya BI untuk menjaga inflasi pada tingkat yang kondusif guna mempercepat gerak roda perekonomian melalui inflation targeting.
Ambil contoh kejadian pada 2005. Pada Juli tahun itu, BI untuk pertama kali menerapkan kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Intinya BI menggunakan BI Rate sebagai referensi suku bunga nasional dalam pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.
Tak hanya itu, kebijakan moneter yang antisipatif dilakukan seraya penguatan koordinasi dengan pihak Depkeu di Lapangan Banteng.
Apa lacur, pemerintah pada tahun itu tak kuat menahan kas negara agar tidak jebol dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Kalkulasi ulang soal subsidi minyak dalam APBN berujung pada keputusan tidak populer menaikkan harga BBM.
Dampak moneter jelas langsung terlihat. Data BPS menunjukkan inflasi pada Oktober 2005 melonjak menjadi 17,89% dari bulan sebelumnya 9,06%. Ujungnya, BI Rate dinaikkan 100 basis poin di usia bulan ketiganya.
Tak hanya itu, bank sentral tetap mengandalkan kebijakan antisipatif dengan kembali mengerek BI Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25% di Rapat Dewan Gubernur BI pada 1 November 2005.
Pada Desember 2005, inflasi jelas melonjak dengan adanya liburan hari raya dan akhir tahun menjadi 18,38%. Dewan Gubernur BI pun menaikkan BI Rate 50 basis poin menjadi 12,75%.
Secara mikro, kenaikan BI Rate memiliki arti kenaikan bunga cicilan pinjaman masyarakat ke bank. Suku bunga kredit pun melonjak sedangkan kenaikan suku bunga simpanan tak seimbang karena terhalang penjaminan LPS.
Memasuki 2006, tekanan inflasi sedikit mereda sehingga BI Rate pun ditetapkan tak berubah sebesar 12,75% selama kuartal I. Bahkan hingga Oktober, sinyal peredaan gejolak harga membuat BI berani memangkas BI Rate rata-rata 50 basis poin tiap RDG.
Mantapnya koordinasi otoritas fiskal-moneter secara one-two seperti kebijakan subsidi dengan pengontrolan suku bunga membuat sektor riil mulai bergerak dan pada Desember 2006, BI Rate menjadi satu digit serta bertengger di posisi 9,75%.
Kondisi stabilitas dengan pertumbuhan di atas 6% praktis membuat bank sentral berada di zona nyaman dan secara bertahap menurunkan BI Rate rata-rata 25 basis poin selama 2007.
Pengaruh komoditas global
Pada empat bulan pertama 2008, faktor gejolak finansial dan kenaikan harga komoditas global masih dianggap menjadi biang keladi kenaikan harga barang di Tanah Air. BI pun bergeming dengan mematok BI Rate sebagai acuan bunga nasional di posisi 8% pada periode Desember hingga April 2008.
Bank sentral bahkan masih meyakini dapat mencapai asumsi target inflasi 5% plus minus 1% hingga akhir 2008. Bukan apa, pengalaman tiga tahun terakhir memang membuktikan pencapaian ekspektasi 6% plus minus 1% pada akhir 2007.
Namun, terlihat penyesuaian landasan keyakinan BI setelah inflasi mulai melonjak dari 8,96% menjadi 10,38% pada Mei dan diikuti kenaikan berikutnya menjadi 11,03% pada Juni dan 11,90% pada Juli.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, sesuatu yang ditakutkan pejabat bank sentral, sulit dikatakan sebagai kompromi antara otoritas moneter dengan otoritas fiskal, bila melihat BI Rate dinaikkan dan kebijakan uang ketat mulai menyentuh industri keuangan.
Lalu bagaimana dengan kondisi moneter pada sisa tahun ini? Pernyataan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom saat menjadi pembicara kunci dalam The 3rd MRC Doctoral Journey in Management, mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.
Bank Indonesia menilai kondisi global yang kurang menguntungkan tetap mengganggu kinerja perekonomian 2008. Pertumbuhan ekonomi pada 2008 diperkirakan pada kisaran 6% atau sedikit menurun dibandingkan dengan perkiraan awal.
“Sementara inflasi, dengan inflasi tahunan per Juli 2008 yang mencapai 11,90%, serta memperhitungkan beberapa faktor risiko serta tekanan inflasi yang masih akan timbul, kami memprakirakan inflasi IHK pada akhir tahun ini akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (y-o-y),” paparnya.
Para pejabat bank sentral mengamati masih adanya risiko tekanan inflasi ke depan yang perlu direspons dengan kebijakan yang tepat. Risiko inflasi tersebut terkait dengan dampak gejolak harga minyak dan pangan dunia tersebut serta tekanan permintaan dalam negeri.
Fokus 2009
Respons bank sentral cukup jelas, BI Rate mencapai 9%. Gubernur BI Boediono seakan melupakan pengalamannya semasa menjadi pejabat pemerintah. Dewan Gubernur tak mengindahkan permintaan menkeu, meneg PPN/Bappenas hingga suara Kadin agar BI Rate tak dinaikkan.
Boediono dan Dewan Gubernur justru mulai memfokuskan pada upaya mencapai posisi inflasi tahun depan yang diperkirakan pada kisaran 6,5%-7,5%. Padahal, BI dan pemerintah sebelumnya membidik 4,5% plus minus 1% sebagai level inflasi 2009.
Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Pada April, rata-rata rupiah sempat melemah 0,37% dari Rp9.174 menjadi Rp9.209 per dolar AS. Namun, tingkat volatilitas menurun dari 0,6% menjadi 0,2%.
Posisi cadangan devisa yang terus naik sebesar US$18 miliar hingga menembus US$60 miliar dalam dua tahun terakhir, cukup berpengaruh terhadap kestabilan nilai tukar rupiah.
Pergerakan nilai tukar rupiah di kisaran Rp9.100-Rp9.200 per dolar AS, setidaknya memberikan ruang bagi eksportir dan importir agar tak selalu merugi akibat devaluasi mata uang.
Boediono selaku Gubernur juga berupaya menjaga wibawa BI yang independen, paling tidak jangan sampai inflation targeting framework tak lagi manjur. Lagipula, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan angka inflasi bulanan pada Juli lebih rendah dibandingkan dengan data Juni sebesar 2,46%.
Artinya, menurut BPS, tidak ada lagi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap laju inflasi yang dicatatkan pada Juli. Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan inflasi terbesar disumbang oleh kenaikan harga bahan makanan yang terjadi akibat adanya permasalahan pasokan.
Biar bagaimanapun, Dewan Gubernur BI tak ingin kecolongan laju inflasi dan memaksakan penggunaan seluruh instrumen kebijakan moneter mulai dari pengendalian volatilitas nilai tukar dan penyerapan ekses likuiditas melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), hingga kenaikan giro wajib minimum (GWM).
Bagi perbankan, kebijakan moneter yang mengarah pada tight money policy akan mengganggu ekspansi bisnis. Bankir bahkan tak siap bila instrumen GWM diperketat. “Kalau GWM naik, kami tentu akan nervous, karena harus menyesuaikan di tengah kondisi sulit seperti sekarang,” kata Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo.
BI Rate yang tinggi akan diikuti dengan kenaikan bunga pinjaman. Hal ini jelas kurang menguntungkan bagi bank karena penyerapan kredit tak akan semulus coretan rencana kerja.
Tuntutan perbankan dan dunia usaha tentu memusingkan BI dan layak ditunggu jurus ampuh Boediono berkelit dari belenggu inflasi.
Comments