Burhanuddin Abdullah dan Pelempar Dadu
Tuhan bukan pelempar dadu
(Jakarta, Mei 1995)
Karena Tuhan bukan pelempar dadu yang tersenyum pada saat kotak sejarah melintas bentangan waktu,
Karena Tuhan bukan pelempar dadu yang tersenyum pada saat kotak sejarah melintas bentangan waktu,
Kita, para pelakunya mesti, sesekali atau seringkali, berhenti, mengusap keringat, dan bersujud-semedi.
Kita turun sejenak-untuk menengok kelokan hati yang ingin kita damaikan dari roda kerja yang mengencang dan mengguncang.
Dan berhentilah, di malamnya malam, pada saat Tuhan mendekat dan mendekap makhluk lain yang kelelapan.
Besok, “roulette” kehidupan kita terusan sebelum Sang Waktu menghentikan secara bergiliran atau bersamaan.
Berhenti pada titik Qadar, sementara takdir masih berputar, cepat atau dipercepat, pada garis edar yang besar atau diperbesar.
Ia meneteskan rizki,; hasil sekepal amal yang kita kerjakan. Selebihnya, kita sucikan dengan menyantuni yang memerlukan.
Memang, kita boleh keheranan. Tak dinyana, tiba-tiba kita ada di sini.Kita tercengang-cengang, tetapi merasa punya tujuan.Bila tujuan itu kita punya, maka yang paling nyata adalah mengoptimalkan kebermaknaan kita untuk keluarga dan teman-teman.
Itu salah satu puisi milik Burhanuddin Abdullah yang terdapat dalam kado ulang tahun ke-60 dari kawan-kawannya. Puisi ini konon termasuk dari 48 artikel yang disisihkan atau tak termasuk dalam buku Menanti Kemakmuran Negeri (Gramedia Pustaka Utama, Juni 2006).
Bertempat di salah satu ruang Executive Room di Hotel Sultan, berkumpul para sanak keluarga dan handai taulan pada acara semi-mewah untuk merayakan ulang tahun Burhanuddin Abdullah.
Malam itu, Jakarta tampak bergembira karena timnas PSSI di Stadion Senayan baru saja meang 2-1 melawan Bahrain. Pesta di Hotel Sultan pun boleh dikatakan tak menjadi santapan insan pers, kecuali kami (saya yang mendampingi mas Yunan selaku redaktur desk perbankan di Bisnis Indonesia).
Bukan hanya keluarga dekat dan kawan-kawan asal Garut dan Pengalengan- Jabar, sejumlah tetamu yang hadir tampak a.l. Arifin M. Siregar dan Adrianus Mooy (dua mantan gubernur BI) dan para deputi gubernur BI (kecuali Miranda Goeltom yang berhalangan karena urusan dinas).
Tak ketinggalan sejumlah bankir senior seperti Rudjito, DE Setijoso (Dirut BCA), Jahja Setiaatmadja (Wadirut BCA), Sofyan Basir (Dirut BRI), Pramukti Surjaudaja (Dirut NISP), Jerry Ng (Wadirut Danamon), I. Supomo (Direktur BNI). Bahkan mitra bermain golf pun turut hadir seperti Gandi Sulistiyanto dan Yan Partawijaya (dua nama tokoh Sinarmas), pada acara ‘kagetan’ tersebut.
Malam itu, kado utama dari tamu undangan yang hadir dirangkum berbentuk buku yang berisi kesan atas pribadi yang berulang tahun. Hampir semua kesan menunjukkan konsensus bahwa Burhanuddin seorang profesional, ekonom, bahkan ada yang memberi gelar filsuf dan budayawan.
Karir penyuka olahraga golf ini di bank sentral dimulai pada 1 Juni 1979 dan 24 tahun kemudian dipercaya memegang tampuk pimpinan BI melalui Keppres RI Nomor 61/M TAHUN 2003 tanggal 17 Mei 2003.
Sempat menganggur dua tahun dari jabatan Menko Perekonomian, Burhanuddin meneruskan pekerjaan Sjahril Sabirin mengentaskan bank sentral dari kecaman kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia seraya menjaga independensi BI dan tugas pokok di bidang moneter.
Kesibukan seorang gubernur bank sentral tak membuat Burhanuddin kehilangan waktu menyalurkan hobinya menulis menulis frasa, puisi, syair dengan makna mendalam, tiap hari.
“Satu dua paragraf tergantung apa yang bisa saya tulis tentang pengalaman hari kemarin atau rencana hari itu, atau juga perenungan atau sebuah pencerahan dari perjalanan hidup yang sangat pendek hari ke hari,” kata dia.
Dan di panggung berhias angka 60 serta dua stik golf, Ketua umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ini pun menyempatkan diri membacakan sejumlah frasa berisi penghormatan seorang anak terhadap ibunya.
Kumpulan kalimat puitis itu dibuat hari itu juga. Bagi Burhanuddin, kepemilikan atas ketrampilan, seni maupun cita karya akan menjadi strategi dan mesin kebudayaan yang berdampak positif pada produktivitas dan daya saing masyarakat Indonesia.
“Saya kira kita harus segera memikirkannya, karena ketiadaan kultur yang kuat membuat kita kehilangan segalanya. Keprihatinan dan kekhawatiran saya sekarang adalah apabila secara sistematis daya saing kita sebagai bangsa tertinggalkan dan tercecer di belakang,” kata dia.
Mesin budaya itu yang juga ditularkan Burhanuddin dalam memimpin Bank Indonesia. Pengembangan kultur, bukan struktur, merupakan gaya dia untuk menepis penilaian BI hanya sebagai menara gading bagi pelaku industri perbankan.
Satu hari di 1999, Burhanuddin yang ketika itu menjadi ketua umum Ikatan Pegawai BI, membacakan sambutan bertema anak penyamun di sarang perawan, pada acara ramah tamah penyambutan Anwar Nasution selaku deputi gubernur senior BI.
“Sebagaimana halnya semua sarang, isinya tak selalu seperti predikat sarang tersebut. Sarang tikus bisa diisi ular, sarang ular bisa diisi komodo. Di BI pun begitu, mungkin memang ada beberapa penyamun, tetapi yang banyak di sini adalah perawan,” begitu kalimat dia dalam mengimprovisasi sambutan tersebut.
Pada ultah BI ke 54, 2 Juli 2007, Burhanuddin menyuarakan adanya penyegaran komitmen membongkar setiap zona kenyamanan dalam organisasi BI dan menghapus perasaan untuk selalu berpuas diri atas apa yang telah diraih.
Bank sentral kini seakan tak hanya mengurusi soal suku bunga. BI pun diarahkan bergerak dan berperan lebih nyata dalam perekonomian. Sebanyak empat komitmen baru dan beberapa program kerja bank sentral yang tangible dan nyata bagi masyarakat, mungkin menjadi salah satu pencapaian dewan gubernur BI.
Itu pula yang membuat Arifin Siregar menilai Burhanuddin memiliki karakter lain seorang ekonom profesional yang berbeda dengan gubernur BI sebelumnya. Arifin menyebutkan Burhanuddin yang mantan aktivis HMI dan aktif pada diskusi PMII di Unpad ini seorang politician yang memiliki indera keenam.
Beberapa pernyataan politik Burhanuddin dinilai Arifin cukup smart menyentil keadaan ekonomi kini yang belum seperti diharapkan, merupakan pekerjaan dari menteri-meneri lainnya.
Pada beberapa kesempatan pada tahun lalu, Burhanuddin selalu berharap adanya koordinasi dari otoritas fiskal guna mengimbangi pencapaian di sisi moneter yang berhasil menekan suku bunga.
Hal itu tak lepas dari penyaluran kredit yang dinilai berada di lintasan yang tepat namun belum dalam kecepatan yang sesuai harapan.Di sisi lain, Burhanuddin coba mengarahkan BI mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari masyarakat dengan penghormatan terhadap budaya didukung aplikasi kekuatan, ketrampilan dan keahlian staf bank sentral.
Jadi masih ada pekerjaan besar setelah usia 60%? “Saya berpikir barangkali kalau memang selesai.. ya sudah selesai, tapi kita baru tahap awal, masih banyak hal yang bisa dikerjakan,” ujar Burhanuddin tersenyum penuh arti.
Kami sempat berdialog singkat ketika acara ultah tersebut hampir tuntas. Sambil menandatangani buku dan cerutu masih berada di tangan kiri, Burhan pun berceloteh:
Usia 60 berarti apa?
Saya baru mulai, baru pada tahap awal dari kehidupan. Barangkali saya harus memaknai seperti itu demi optimisme yang saya kira akan kita raih di masa depan antara lain saya berpikir kalau memang itu sudah selesai yaa sudah selesai, kita baru tahap awal.
Berarti ada tahap berikut?
Oh iya masih banyak hal yang bisa dikerjakan.
Contohnya?
Kita kan punya banyak masalah di negeri ini. Saya kira saya adalah orang ingin memanfaatkan setiap detik dari kehidupan. Kalau bisa dimanfaatkan saya kira itu baik.
Jadi life begins at 60?
Hahaha barangkali begitu. Life begins at 60.
Kalau tentang puisi untuk ibunda yang tadi dibacakan?
Sebetulnya puisi itu belum selesai, atau kita biarkan saja tidak selesai. Tapi saya akan berikan, itu sudah ada di komputer saya.
Kabarnya proses penciptaannya butuh waktu khusus?
Ohh itu biasa saja karena saya tidak penah menunggu ilham. Saya memaksa ilham itu datang.
Jadi puisi itu dibuat untuk acara ini?
No..no. saya tidak tahu acara ini, paling tidak saya tidak jelas tentang acara ini. Saya hanya kebiasaan menulis saja, each everyday saya itu setelah sholat subuh saya menulis apapun, satu dua paragraf tergantung apa yang bisa saya tulis, tentang pengalaman hari kemarin atau rencana hari itu atau suatu perenungan atau sebuah pencerahan dari perjalanan hidup yang sangat pendek hari ke hari. Itu saya tuliskan dan saya kira ada thousand of pages di komputer, saya tidak tahu mau diapakan.
Mungkin bisa dikumpulkan jadi buku misalnya?
Betul dikumpulkan, tapi itu…tidak ada temanya dan saya membiarkan begitu saja barangkali nanti dipilah-pilah kalau mau diterbitkan.
Apa seorang gubernur bank sentral bersedia untuk monolog di acara kebudayaan?
Tempo hari waktu di Q TV oleh Pradjoto, saya ikut, tema kita tentang bagaimana bangsa ini memiliki suatu strategi kebudayaan. Karena selama ini kita tidak serius tentang strategi kebudayaan sehingga budaya yang ada saat ini tidak menciptakan manusia-manusia Indonesia yang produktif. Karena mesin-mesin budaya yang ada adalah elit politik, elit ekonomi, yang kemudian kita saksikan di mall-mall dan di dalam tayangan (TV), itu membentuk budaya konsumtif kita. Mungkin satu mesin kebudayaan secara serius di negeri ini, oleh kita semua perlu mulai dipikirkan itu.
Rasanya pemerintah tidak berpikir ke sana?
Saya kira mesti berpikir ke sana. Bahwa itu suatu luxury dalam situasi ekonomi seperti ini yang banyak persoalan, saya kita tentu itu persoalan lain. Tetapi saya kira kita harus memikirkannya karena ketiadaan kultur yang kuat membuat kita kehilangan segalanya. Keprihatinan dan kekhawatiran saya sekarang apabila secara sistematis daya saing kita sebagai bangsa tertinggal terus menerus sehingga kita tercecer di belakang. Daya saing adalah sebuah refleksi kumpulan segala macam, dia bisa berbentuk ketrampilan, pengetahuan dan pada akhirnya dia adalah budaya.
Kapan pak Burhan masih sempat pikir soal budaya di tengah kesibukan?
Oh iya harus dong, budaya itu bagian dari kegiatan sehari-hari.
Sejak Februari lalu, Burhan mondar-mandir ke Kantor KPK di Kuningan untuk memberikan keterangan atas kasus penyaluran dana BI kepada anggota DPR... hmmmm.... semoga karya puisi dan seni lainnya tak terhambat....
Comments