Ketika bola tak lagi sekedar bulat


Surat elektronik dari salah satu kawan melalui jejaring sosial itu masuk di saat yang 'kurang tepat'. Isinya uneg-uneg soal sepak bola di saat banyak orang membicarakan kegiatan mudik lebaran yang penuh dengan kemacetan. Namun apa salahnya?

Si kawan begitu tertarik membahas faktor X dalam resep menjadi tim sepak bola yang hebat? tim yang begitu ingin dikalahkan oleh banyak lawan di dunia? tim dengan jutaan fan yang kadang mendukung di luar logika?

Barcelona mungkin jadi contoh terbaik dari tim nomor wahid dunia saat ini. Di Spanyol, Real Madrid sang seteru abadi, belum mampu juga mengatasi tim yang diasuh Josep Guardiola tersebut, dalam 15 hari terakhir, dua gelar telah direbutnya.

Menurut kawan saya itu,faktor X yang membuat Barca selalu mampu mengatasi Madrid adalah "Semangat Perlawanan". Etnis Catalan yang menguasai sepertiga kawasan selatan & timur Spanyol, hingga kini -meski scara tidak formal- tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah Bangsa Spanyard.

Semangat perlawanan itulah yang masuk ke dalam sum-sum pemain Barca, tatkala melawan kemampuan skill Cristiano Ronaldo, Mezut Ozil, Kaka, Benzema dkk. Sebuah perlawanan dari kaum minoritas Catalan melawan mayoritas etnis Castilla. Hasilnya? anda tahu sendiri.

Faktor X itu pula yang mungkin harus diadopsi timnas Indonesia yang kemarin menghadapi Iran dalam babak kualifikasi Pra Piala Dunia 2014. Timnas Garuda juga akan menghadapi Bahrain dan Qatar hingga 29 Februari 2012.

Kawan saya cukup kritis soal punggawa timnas Garuda. Secara skill -bicara realita- boleh dibilang hanya Boas Solossa yang memiliki ketrampilan lebih dibandingkan dengan rekan timnya. Sundulan Bambang Pamungkas sudah jauh menurun ketajiannya.

Pun Irfan Bachdim yang rasanya lebih cocok jadi bintang iklan ketimbang striker. Christian El Loco Gonzales pun makin kurang gesit karena dimakan usia. Sementara Markus Horison masih suka salah mengantisipasi tendangan silang.

Dengan kondisi tim yang pas banderol tersebut, saya sepakat dengan dia, masih ada satu hal yang bisa kita dengungkan untuk mendorong semangat pemain timnas, tak lain "Semangat Perlawanan" dari tim peringkat triple digit melawan tim berperingkat double digit.

Sekitar 4 tahun lalu, mantan wapres Jusuf Kalla menantang para pemuka PSSI : kapan Indonesia bisa main di putaran final Piala Dunia? karena seharusnya negara seperti Indonesia bisa melebihi negara-negara kecil seperti Kuwait, Arab Saudi, Togo, Kamerun yang menembus Piala Dunia. Toh, Indonesia punya segalanya.

Modal dana bukan persoalan, karena negara miskin seperti Togo masih sanggup ikut final Piala Dunia, sedangkan di Tanah Air banyak konglomerat dan korporasi yang siap mendanai. Fasilitas juga mendukung, lapangan di Indonesia begitu banyak.

"Kita punya lapangan hijau-hijau, kecuali pas banjir saja. Ini modal penting sedangkan di Afrika itu kan lapangan hanya gurun pasir saja." Itu kata JK, kini ketua umum PMI.

Indonesia juga punya kompetisi mulai dari Galatama hingga liga profesional. Meski kadang karut marut, tetap saja pemain asing dari Afrika, Eropa, Amerika Latin hingga Australia main di sini. "Mana ada pemain Indonesia main di Afrika? itu berarti bayaran di sini lebih mahal kan," celetuk JK.

Faktor lain juga dimiliki Indonesia. Pembinaan, pelatih asing hingga hal mistis bukan hal baru di Tanah Air. Sang mantan wapres punya cerita ketika masih menjadi ketua klub bola di Makassar) pernah malam-malam hadir pada doa memandikan keris yang airnya dipercikkan kepada pemain. "Besoknya memang menang. Tapi di semifinal kalah, jadi saya bilang keris juga punya batasannya."

Prestasi sepakbola kata Jusuf Kalla bukan persoalan agama, semua negara ciri agama tertentu sudah bisa masuk putaran final Piala Dunia.

Paling tidak dari 230 juta penduduk Indonesia ini, harus punya pemain yang fisik, skill dan yang paling penting adalah faktor semangat. "Kalau dulu semangatnya merah putih, tidak apa-apa kalau sekarang semangatnya Sudirman.. kan ada warna merahnya juga," ucap JK merujuk pada uang berdenominasi Rp100.000.

Problemnya adalah, bonus jika menang kini sudah menjadi hal biasa yang dalam hitungan singkat akan segera habis. Semangat nasionalisme pun sudah menjadi isu usang.

Ah, sepak bola memang tak sekedar bulat diceritakan, kadang banyak hal membuatnya bagai belah ketupat yang bisa menyenangkan dan mengenyangkan banyak kepentingan. Mohon maaf lahir batin. (fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Comments

Popular posts from this blog

PREMAN JAKARTA: Siapa bernyali kuat?

Dengan Vaksinasi, Ekonomi Bertumbuh, Ekonomi Tangguh

Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi